ChanelMuslim.com – Setelah anak berumur 21 hari, masih bolehkah melaksanakan aqiqah? Ustaz, izin bertanya, mengenai waktu pelaksanaan aqiqah, kalau sampai lewat dari hari ke-21, dari kelahiran seorang anak, belum juga ada rezekinya, apakah masih ada kewajiban orang tua untuk tetap mengaqiqahkan anaknya?
Bagaimana pula jika anak tersebut keburu meninggal sebelum diaqiqahkan? Apakah kita sebagai orangtua, masih wajib mengaqiqahkan anak yang sudah meninggal? Karena ketika anak lahir, belum ada biaya untuk aqiqah, pas-pasan dan hanya cukup untuk biaya persalinan.
Baca Juga: Hukum Aqiqah Bayi Laki-Laki Tidak Langsung Dua Kambing
Hukum Aqiqah setelah Anak Berumur 21 Hari
Oleh: Ustaz Farid Nu’man Hasan
Hari ketujuh adalah hari yang afdhal (lebih utama). Jika dalam keadaan sempit finansial, boleh dilakukan pada hari setelahnya atau kelipatannya, atau kapan pun saat orangtuanya ada rezeki, itu tetap sah dan boleh, menurut pendapat yang lebih kuat dari beberapa pendapat ulama.
Imam Abu Thayyib Syamsul Azhim Abadi, memberikan rincian demikian:
فِيهِ دَلِيل عَلَى أَنَّ وَقْت الْعَقِيقَة سَابِع الْوِلَادَة ، وَأَنَّهَا لَا تُشْرَع قَبْله وَلَا بَعْده وَقِيلَ تَجْزِي فِي السَّابِع الثَّانِي وَالثَّالِث لِمَا أَخْرَجَهُ الْبَيْهَقِيُّ عَنْ عَبْد اللَّه بْن بُرَيْدَةَ عَنْ أَبِيهِ عَنْ النَّبِيّ أَنَّهُ قَالَ ” الْعَقِيقَة تُذْبَح لِسَبْع وَلِأَرْبَع عَشْرَة وَلِإِحْدَى وَعِشْرِينَ ” ذَكَرَهُ فِي السُّبُل .
وَنَقَلَ التِّرْمِذِيّ عَنْ أَهْل الْعِلْم أَنَّهُمْ يَسْتَحِبُّونَ أَنْ تُذْبَح الْعَقِيقَة يَوْم السَّابِع فَإِنْ لَمْ يَتَهَيَّأ فَيَوْم الرَّابِع عَشَر ، فَإِنْ لَمْ يَتَهَيَّأ عَقَّ عَنْهُ يَوْم إِحْدَى وَعِشْرِينَ .
“Dalam hadits ini, terdapat dalil bahwa waktu aqiqah adalah hari ke tujuh kelahiran. Sesungguhnya tidak disyariatkan sebelum dan sesudahnya.
Ada yang mengatakan: Sudah mencukupi dilakukan pada hari ke-14 dan 21, sebab telah dikeluarkan oleh Imam Al Baihaqi dari Abdullah bin Buraidah, dari Ayahnya, dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam, beliau bersabda: ‘Aqiqah disembelih pada hari ke-7, 14, dan 21.’
Hadits ini disebutkan dalam kitab Subulus Salam. Imam At Tirmidzi mengutip dari para ulama bahwa mereka menyukai menyembelih aqiqah pada hari ke-7, jika dia belum siap maka hari ke-14, jika dia belum siap, maka pada hari ke-21.”
(‘Aunul Ma’bud, 8/28. Darul Kutub Al ‘Ilmiyah)
Berkata Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah:
والذبح يكون يوم السابع بعد الولادة إن تيسر، وإلا ففي اليوم الرابع عشر وإلا ففي اليوم الواحد والعشرين من يوم ولادته، فإن لم يتيسر ففي أي يوم من الايام. ففي حديث البيهقي: تذبح لسبع، ولاربع عشر، ولاحدي وعشرين.
“Penyembelihan dilakukan pada hari ketujuh setelah kelahiran jika dia lapang, jika tidak, maka pada hari ke-14, jika tidak, maka hari ke-21 dari hari kelahirannya. Jika masih sulit, maka bisa lakukan pada hari apa pun. Dalam Hadits Al Baihaqi: “disembelih pada hari ke-7, 14, dan 21.”
(Fiqhus Sunnah, 3/328. Darul Kitab Al ‘Arabi)
Lalu, apakah boleh saat dewasa?
Orang tua memang sudah tidak ada kewajiban pada saat anaknya sudah dewasa. Tapi, “tidak berkewajiban” bukan berarti terlarang.
Hal ini diperselisihkan ulama. Akan tetapi, pendapat yang lebih kuat -Insya Allah- adalah boleh.
Pendapat ini dipilih oleh Imam Asy Syafi’iy dan pengikutnya, Imam Ahmad bin Hambal dan pengikutnya, serta sebagian salaf seperti Hasan Al Bashri, Ibnu Sirin, Atha’ bin Abi Rabah, dll.
Imam Muhammad bin Sirrin Rahimahullah berkata:
لَوْ أَعْلَمُ أَنَّهُ لَمْ يُعَقَّ عَنِّي ، لَعَقَقْتُ عَنْ نَفْسِي.
Seandainya aku tahu aku belum diaqiqahkan, niscaya akan aku aqiqahkan diriku sendiri.
(Al Mushannaf Ibnu Abi Syaibah No. 24718)
Imam Al Hasan Al Bashri Rahimahullah berkata:
إذا لم يعق عنك ، فعق عن نفسك و إن كنت رجلا
Jika dirimu belum diaqiqahkan, maka aqiqahkan buat dirimu sendiri, jika memang kamu adalah laki-laki. (Imam Ibnu Hazm, Al Muhalla, 8/322)
Aqiqah diri sendiri dan saat dewasa itu memiliki dasar yang kuat, yaitu:
أن النبي صلى الله عليه وسلم عق عن نفسه بعدما جاءته النبوة
Bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam mengaqiqahkan dirinya setelah datang kepadanya nubuwwah (masa kenabian).
Hadits ini pada dasarnya LEMAH, namun demikian hadits ini DIKUATKAN OLEH beberapa jalur lainnya yaitu:
– Imam Abu Ja’far Ath Thahawiy, Musykilul Atsar, no. 883
– Imam Ath Thabaraniy, Al Mu’jam Al Awsath no. 994
– Imam Ibnu Hazm, Al Muhalla, 7/528
Berkata Syaikh Al Albani Rahimahullah:
قلت : و هذا إسناد حسن رجاله ممن احتج بهم البخاري في ” صحيحه ” غير الهيثم ابن جميل ، و هو ثقة حافظ من شيوخ الإمام أحم
Aku berkata: Isnad hadits ini HASAN, para perawinya adalah orang-orang yang dijadikan hujjah oleh Imam Bukhari dalam Shahihnya, kecuali Al Haitsam bin Jamil, dia adalah terpercaya, seorang hafizh, dan termasuk guru dari Imam Ahmad. (As Silsilah Ash Shahihah, 6/502)
Kesimpulan akhirnya, Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani menshahihkan hadits ini dengan status SHAHIH LI GHAIRIHI, karena beberapa riwayat di atas yang menguatkannya. (Ibid)
Demikian. Wallahu a’lam.[ind]