ChanelMuslim.com- Pernikahan itu menyatukan dua keluarga. Saling kenal dan memahami menjadi dasar agar yang menyatu tidak merenggang.
Indonesia tergolong bangsa yang unik. Keragamannya bisa dibilang super. Ada begitu banyak suku, bahasa daerah, budaya, dan selera.
Dalam perbedaan itu, pernikahan salah satu sarana yang mampu menyatukan yang sebelumnya berbeda. Berbeda dalam suku, bahasa, termasuk juga selera. Tentunya, bukan berbeda agama.
Kisah Berbeda itu Nyata
Seribu satu kisah tentang menikah dalam perbedaan tersebar di penjuru nusantara. Begitu banyak hikmah bisa diraih. Begitu banyak pengalaman bisa dipetik.
Salah satunya kisah bersatunya budaya Betawi dan Solo. Kisah adaptasi pengantin baru antara Mamat dan Tuti. Tentu bukan nama sebenarnya.
Singkat cerita, Mamat dan Tuti sukses menggapai mahligai rumah tangga. Mengatasi perbedaan, keduanya saling belajar dan beradaptasi.
Mamat belajar tentang budaya Solo yang santun. Dan Tuti belajar tentang budaya Betawi yang egaliter.
Mamat mengajarkan Tuti tentang bahasa Betawi yang sederhana. “Yang, orang Betawi ngomong saya itu ‘aye’. Kalau ngomong kamu itu ‘elu’,” jelas Mamat ke Tuti yang diiringi anggukan istrinya.
Setelah sebulan tinggal di Solo, keduanya kini tinggal di Jakarta, di rumah orang tua Mamat. Tuti belajar hal baru di rumah itu. Tentang keluarga mertuanya yang biasa bicara ceplas-ceplos. Keakraban yang seperti tanpa batas. Dan lainnya.
Disebut tanpa batas karena begitu sangat akrabnya. Pernah suatu kali, encing (bibi) suaminya datang dan begitu keras mengucapkan salam, “Salam Lekum!” Suara itu terdengar beberapa kali, dan kian jelas terdengar.
Ketika Tuti mencoba bangun dari tidur, ia terperanjat karena sang encing sudah ada di kamarnya. “Eh, orangnye ade. Kirain gak ade,” ucap encing sambil menatap Tuti yang masih berada di tempat tidur bersama Mamat.
Soal kata ‘aye’ dan ‘elu’ selalu diingat-ingat Tuti. Ia khawatir dua kata itu tertukar. Walaupun penyebutannya masih kaku, ia terus membiasakan lidahnya untuk luwes mengucapkan.
Hingga suatu kali, ibu mertuanya yang selalu ‘kepo’ menanyakan apa yang sedang dimasak Tuti. Saat itu, ia sedang memasak kue kesukaan suaminya.
“Elu lagi masak kue, Tut?” ucap ibu mertuanya.
“Iya, Nyak,” jawab Tuti agak kikuk.
“Kue apaan?” tanya ibu mertuanya lagi.
“Kue…,” tiba-tiba Tuti sungkan menyebutnya. Ia khawatir kalau yang akan diucapkannya tidak sopan. Apalagi itu terhadap ibu suaminya.
“Kue…,” lidah Tuti tersendat untuk mengucapkannya. Ia lagi-lagi memastikan bahwa ‘aye’ itu saya, dan ‘elu’ itu kamu.
“Kue apaan?” tanya ibu mertuanya lagi sambil berjalan mendekat.
“Kue bol…, bol…, bol-aye, Nyak!” ucap Tuti begitu sungkan.
“Kue apaan?” ucap ibu mertua Tuti sambil memastikan apa yang sedang dimasak menantunya.
“Oh, kue bollu,” ucap ibu mertua Tuti sambil mengangguk.
“Iya, Nyak. Kue bol-aye,” jawab Tuti lagi.
Dalam perbedaan itu kita bisa banyak belajar. Dan dalam perbedaan itu, akan banyak hal yang mengsyikkan. [Mh]