ChanelMuslim.com- Pernikahan itu menyatukan dua keluarga. Saling kenal dan memahami menjadi dasar agar yang menyatu tidak merenggang.
Indonesia tergolong bangsa yang unik. Keragamannya bisa dibilang super. Ada begitu banyak suku, bahasa daerah, budaya, dan selera.
Dalam perbedaan itu, pernikahan salah satu sarana yang mampu menyatukan yang sebelumnya berbeda. Berbeda dalam suku, bahasa, termasuk juga selera. Tentunya, bukan berbeda agama.
Kesempatan Belajar Berbeda
Allah menciptakan manusia itu dalam perbedaan. Beda bangsa dan negara. Beda bahasa. Beda suku dan budaya.
Dalam satu agama, perbedaan tadi juga berlaku. Karena agama Islam memang untuk menyatukan semua perbedaan alami itu. Bahkan berbeda dalam skala dunia. Dan orang yang paling mulia adalah yang paling takwa.
Pernikahan adalah sisi lain dari belajar memahami perbedaan. Ketika jodoh datang, selama shaleh dan shalehah, perbedaan menjadi sebuah tantangan dan keasyikan.
Persis seperti perjalanan di sebuah area wisata baru yang belum pernah dikunjungi. Di situlah pengalaman baru yang mengesankan akan terukir.
Dalam hal jodoh, berbeda suku dan budaya akan menyodorkan masing-masing pihak memiliki ruang belajar praktis. Tidak dengan teori, melainkan dengan aksi nyata.
Yang belajar bukan hanya suami dan istri. Melainkan juga, dua keluarga besar yang menyatu dalam tali pernikahan itu.
Menariknya, masing-masing suku dan budaya memiliki kekhasan tersendiri. Mulai dari lamaran, akad nikah, walimahan, dan belajar membangun rumah tangga. Meskipun secara nilai semua tetap sama: dalam bingkai syariah Islam.
Esensinya sama: yaitu Islam. Tapi kreasi dan hiasannya yang berbeda. Begitu pun dengan langgam dan latarnya. Dan semua aksesoris itu tidak mengurangi kesucian syariah Islam.
Tanpa mengenal dengan kenyataan dan pengalaman, sulit bisa memahami. Dan tanpa memahami, perbedaan akan tetap menjadi potensi yang memisahkan. Bahkan memecah persatuan.
Lebih detil lagi untuk suami istri. Meski niat ikhlas dan cinta telah menyatukan, tetap saja, belajar berbeda menjadi rutinitas yang menantang sekaligus mengasyikkan.
Jika dua keluarga besar momen menyatunya hanya dalam seremonial, suami istri menyatunya seumur hidup. Tantangan dan keasyikannya akan jauh lebih besar.
Keduanya saling belajar detil tentang bahasa dan budaya. Contoh, kalau orang Betawi hampir tidak mengenal tingkat bahasa. Semua kata diucapkan sama untuk siapa pun. Mengucapkan kata terhadap yang seusia dengan kalimat A, dan dengan yang jauh lebih tua pun akan diucapkan A.
Sementara di Solo, tidak semua kata bisa diucapkan untuk semua orang. Ada nilai tatakrama yang berlaku. Dan itu sebagai bagian dari adab kesopanan.
Di situlah masing-masing punya kesempatan untuk belajar tentang perbedaan. Sebuah kurikulum hidup yang tidak diajarkan detil di bangku sekolah. (Mh/bersambung)