ChanelMuslim.com- Yang belum pasti terjadi jangan diseramkan. Yang sudah terjadi jangan disedihkan.
Mengenang hidup kadang seperti menata rangkaian peristiwa yang pernah dialami. Ada yang menyenangkan. Tapi tidak sedikit yang menggores kesedihan.
Boleh jadi, dari sekian kenangan itu, yang menyenangkan jauh lebih banyak dari yang menyedihkan. Tapi, kadang energi kita lebih terkuras dengan kenangan sedih. Ada rasa sesal di situ. Ada rasa kehilangan yang susah tergantikan.
Bentuknya bisa macam-macam. Bisa kematian dari orang yang kita cintai. Lenyapnya harta. Lepasnya karir yang selama ini menjadi sandaran hidup. Bahkan boleh jadi, lenyapnya wibawa atau pengaruh yang selama ini mengangkat derajat kita.
Sedih dan sesal tentang semua itu terus mengekang langkah kita untuk terus menapaki hidup. Semangat tiba-tiba beku di bawah titik nol derajat. Sepertinya, tak ada lagi yang menarik untuk kita tatap di hari esok.
Dalam Islam keadaan itu disebut hazanun atau hazan. Sebuah rasa sedih dan sesal yang berlangsung terus-menerus. Hati dan pikiran hanya berkutat di satu kata: andai…andai…dan andai.
Andai saya memilih pekerjaan lain, mungkin saya tidak nganggur seperti saat ini. Andai saya tidak lengah menjaga si kecil, mungkin kecelakaan itu tak pernah terjadi. Andai saya tidak mempercayai pihak itu, mungkin rumah dan mobil saya tidak lenyap seperti sekarang. Dan seterusnya.
Kita lupa bahwa tak seorang pun yang mampu memastikan apa yang akan terjadi esok. Bahkan apa yang akan terjadi di menit setelah ini.
Bukan wilayah kemampuan manusia untuk memastikan itu. Bahkan, semua yang akan terjadi di bumi ini sudah dijadwalkan jauh sebelum alam ini diciptakan.
Di titik pemahaman itu pun kadang bisa berkembang liar. Bukannya memaklumi bahwa kita hanya mampu berikhtiar dan doa, tapi malah menggugat ketentuan yang telah terjadi itu.
Siapa yang digugat? Siapa lagi kalau bukan Allah subhanahu wata’ala. Na’udzu billah min dzalik. Kami berlindung kepada Allah dari sifat buruk seperti itu.
Di sini pun ada kealpaan kita untuk memahami kekerdilan pengetahuan kita di banding keluasan ilmu Allah.
Pahamilah apa yang telah Allah ungkapkan dalam Surah Al-Baqarah tentang kekerdilan itu. “…Boleh jadi, kamu tidak menyukai sesuatu padahal itu baik bagimu. Dan boleh jadi, kamu menyukai sesuatu padahal itu buruk buatmu. Allah Mengetahui sedang kamu tidak mengetahui.” (QS. 2: 216)
Kita mengukur baik buruk sesuatu dalam skala kecil. Sangat kecil. Karena memang hanya itulah kemampuan jangkauan pengetahuan yang dimiliki. Tapi Allah mengukurnya dalam skala luas yang baru akan dirasakan kebaikannya dalam masa yang akan datang.
Kita pun mengukur baik buruk dalam takaran yang tidak objektif. Tapi lebih karena tercampur nafsu dan emosi yang kadang menampakkan pandangan sesuatu tidak seperti aslinya. Sementara, Allah mendahulukan rahmatNya atas sesuatu.
Hal itu persis seperti konflik yang dirasakan anak kecil dengan orang tuanya. Anak itu marah, kecewa, berontak untuk bisa memperoleh permen yang tidak diizinkan orang tuanya. Anak itu belum memahami di balik manisnya permen.
Orang-orang shaleh selalu diuji dengan keadaan ini. Diuji apakah imannya lebih kuat dari egonya. Diuji apakah ridhanya lebih kuat dari piciknya. Diuji apakah ia akan terus dalam taat dan takwa meski kehilangan yang dicintai.
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengajarkan, kalau kalian ditimpa musibah, janganlah mengatakan andai aku melakukan ini dan itu (andai aku tidak melakukan itu maka tidak terjadi ini). Tapi katakanlah, qadarullah wa maasyaa’a fa’ala. Sudah ditakdirkan Allah. Apa yang Allah kehendaki, maka terlaksanalah.
Inilah obat sedih yang sesungguhnya. Yaitu, ridha dan tawakkal dengan apa yang telah Allah takdirkan tentang perjalanan hidup kita. Dan berbaik sangkalah, insya Allah akan ada hikmahnya. [Mh]