ChanelMuslim.com- Kemendikbud akhirnya menyerah. Melalui Mendikbud, Nadiem Makarim, kementerian ini secara resmi menyerahkan “handuk masalah” PJJ ke pemerintah daerah. Ada dua masalah yang diserahkan dari pusat ke daerah: silakan pilih kurikulum di masa pandemi, dan silakan buka sekolah di zona kuning.
Mendikbud, Nadiem Makarim, akhirnya menyerahkan masalah seputar Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) kepada pemda. Dua hal yang paling krusial dialami sekolah, siswa, dan orang tua dalam PJJ seolah bukan lagi urusan pusat. Dua hal itu adalah model kurikulum di masa pandemi dan kegelisahan pelaksanaan pendidikan di zona kuning.
Menurut Mendikbud, sekolah dipersilakan untuk memilih tiga model kurikulum karena ketidaknormalan masa pandemi. Yaitu, model kurikulum nasional seperti yang selama ini berlangsung, kurikulum darurat, dan kurikulum mandiri yang disesuaikan dengan kesiapan guru dan orang tua.
Hal ini merujuk pada masa pandemi yang membuat sekolah tidak bisa melangsungkan kurikulum secara normal. Jika standar kompetensi nasional dipaksakan, maka akan terjadi ketidakmampuan sekolah dan siswa, khususnya di wilayah yang tidak siap melaksanakan PJJ.
Secara umum dan teoritis, kebijakan ‘silakan pilih’ ini memang bagus. Tapi dalam prakteknya, akan terjadi tarik menarik antara dinas pendidikan, sekolah, dan guru. Dalam satu daerah, boleh jadi dinas menginginkan penerapan kurikulum nasional, tapi tidak begitu dengan sekolah, dan kemungkinan besar, guru pun memiliki keinginan yang berbeda.
“Adu kuat” memilih antara tiga pelaksana pendidikan daerah itu akan sangat berpengaruh pada mutu pendidikan yang dilakukan. Dan ujung-ujungnya, siswa juga yang akan menjadi korban.
Dengan keadaan pandemi yang merata secara nasional, penentuan dari pusat mau menerapkan kurikulum seperti apa dari tiga pilihan itu, boleh jadi, akan lebih efektif dan akurat untuk mutu pendidikan. Tentu, penegasan pilihan dari pusat ini akan punya konsekuensi bahwa pusat akan dituntut bekerja lebih keras.
Begitu pun dengan pembolehan buka sekolah di zona kuning yang mencakup sekitar hampir 50 persen dari sebaran sekolah di tanah air. Lagi-lagi, problem PJJ yang tak kunjung usai seperti diserahkan secara penuh kepada pemerintah daerah.
Bahasa rakyatnya seolah mengatakan, “Terserah kalian, mau buka silakan tanggung sendiri risikonya. Kalau mau tetap PJJ, urus sendiri kekurangannya.”
Padahal, kebijakan membuka sekolah di zona kuning tidak sesederhana yang dibayangkan. Zona merah, kuning, atau hijau bukan cap permanen terhadap suatu daerah. Bisa jadi, pekan ini suatu daerah berzona kuning, tapi pekan depan berubah menjadi merah. Perubahannya sangat dinamis, pekan ke pekan, bahkan hari ke hari.
Bagaimana mungkin sekolah yang baru dibuka sepekan, tiba-tiba ditutup lagi. Dan pekan berikutnya, dibuka lagi, dan seterusnya.
Hal lain yang tidak kalah repotnya adalah biaya dan aturan dalam membuka sekolah itu sendiri. Karena sekolah harus menyediakan sejumlah sarana sesuai standar kesehatan dan kebijakan 50 persen penggunaan ruang kelas. Untuk yang terakhir, tentu akan menyedot kerumitan tersendiri bagi sekolah karena harus menyediakan setidaknya dua kali lipat sumberdaya agar tatap muka bisa berjalan sesuai protokol kesehatan.
Dan umumnya, baik pusat dan daerah, dalam kebijakan pembukaan sekolah hanya melulu perhatiannya pada siswa. Sementara hak guru dianggap nomor dua. Karena biasanya, para gurulah yang paling rawan terinfeksi Covid-19 karena jarak tempuh menuju sekolah biasanya lebih jauh dari para siswa. Tidak jarang, untuk menuju sekolah, setiap hari guru harus melintasi berbagai macam zona: merah, kuning, hijau.
Melalui Kemendikbud, pemerintah pusat baiknya sungguh-sungguh ikut berkeringat dalam penanganan proses pembelajaran di masa pandemi ini. Jangan sampai terkesan sekadar “melempar handuk” masalah PJJ ke pemda dan sekolah.
Kalau itu yang terjadi, jangan heran jika nantinya sekolah akan memasang tiga simbol warna di gerbang sekolahnya: merah, kuning, dan hijau. Merah berarti sekolah tutup, kuning artinya buka tapi hati-hati, dan hijau silakan ngebut belajar. (Mh)