MENJAMAK shalat saat bepergian. Seperti diketahui, menjamak berasal dari kata bahasa Arab (al-jam’u), yang artinya mengumpulkan atau menjadikan satu.
Menjamak shalat, maksudnya yaitu mengumpulkan dua shalat dalam satu waktu. Dan dalam kaitannya dengan bepergian, diperbolehkan mengerjakan shalat empat rakaat menjadi dua rakaat dan melaksanakan dua shalat dalam satu waktu dengan qashar (meringkis).
Misalnya, mengerjakan shalat zhuhur dan ashar dua rakaat – dua rakaat. Jika kedua shalat tersebut dilakukan pada waktu zhuhur, disebut dengan jamak taqdim (mendahulukan).
Dan jika dikerjakan pada waktu ashar, disebut jamak ta’khir (mengakhirkan). Menjamak dan mengqashar shalat dalam perjalanan ini, biasa disebut dalam kitab-kitab hadits dan fikih sebagai “shalat safar.”
Baca Juga: Menjamak Shalat Bagi Tenaga Kerja di Luar Negeri
Menjamak Shalat saat Bepergian
Ibnu Umar Radhiyalahu Anhuma berkata, “Aku melihat Rasullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, apabila beliau diburu waktu berangkat dalam perjalanan, beliau mengakhirkan shalat maghrib hingga menjamak dengan shalat isya’.” (Muttafaq Alaih)
Kata-kata “apabila,” dalam hadits di atas menunjukkan bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam biasa melakukan hal yang sama dikatakan oleh Ibnu Umar, yakni menjamak shalat jika bepergian.
Dan “mengakhirkan shalat maghrib hingga menjamaknya dengan shalat isya’,” maksudnya adalah menunda pelaksaan shalat maghrib pada waktunya dan mengerjakannya pada waktu isya’, menjamak dengan shalat isya’.
Hadits di atas, sekalipun hanya disebutkan tentang menjamak shalat dan tidak disinggung soal mengqashar. Sebab, Nabi memang senantiasa mengqashar shalat jika sedang berada dalam perjalanan. Sebagaimana disebutkan dalam hadits yang diriwayatkan dari Anas bin Malik Radhiyallahu Anhu berikut.
“Kami keluar bersama Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam dari Madinah menuju Makkah. Dan beliau selalu shalat dua rakaat-dua rakaat hingga kami kembali lagi ke Madinah.” (Muttafaq Alaih)
Nah, dalam hadits ini jelas sekali disebukan bahwa beliau mengqashar shalatnya selama berada dalam perjalan. Dan sekalipun ketika dalam perjalanan sempat bermukim dalam waktu cukup lama, beliau tetap mengqashar shalatnya empat rakaat menjadi dua rakaat.
Sebab disebutkan juga dalam lanjutan hadits tersebut, bahwa beliau bermukim di Makkah selama sepuluh hari. Dan selama bermukim di Makkah –meskipun beliau lahir dan besar di Makkah– beliau tetap mengerjakan shalat dua rakaat alias mengqashar shalatnya.
Bahkan, beliau sempat mukim di Makkah selama delapan belas hari. Dan selama itu pula beliau selalu mengqashar shalatnya.
Perkataan Anas, “hingga kami kembali lagi ke Madinah,” menunjukkan bahwa selama dalam perjalanan antara Makkah ,–Madinah dan Madinah,– Makkah, beliau senantiasa menjamak dan mengqashar shalatnya.
Aisyah Radhiyallahu Anha mengisahkan, bahwa pertama kali ketika masih di Makkah, shalat hanya diwajibkan dua rakaat-dua rakaat. Dan manakala Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam hijrah ke Madinah, shalat yang dua rakaat itu ditambah dua rakat lagi menjadi empat rakaat, kecuali maghrib dan subuh. Lalu Aiysah berkata,
“Dan apabila beliau bepergian, beliau shalat seperti shalat yang pertama kali, yakni yang diwajibkan di Makkah.” (Al-Hadits)
Ibnu Qayim berkata, “Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam biasa mengqashar shalat yang empat rakaat menjadi dua rakaat sejak beliau pergi keluar hingga kembali lagi ke Madinah.
Dan tidak ada satu pun hadits shahih yang mengatakan bahwa beliau pernah menggenapkan shalat yang empat rakat dalam perjalanannya.
Adapun hadits yang mengatakan bahwa Nabi pernah menggenapkan shalat empat rakaat, adalah hadits yang tidak shahih. Syaikh Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, bahwa hadits yang menyebutkan demikian adalah dusta atas Rasululah Shallallahu Alaihi wa Sallam.
Demikianlah kebiasaan Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, beliau senantiasa menjamak shalatnya ketika bepergian dan selama bepergian. Baik itu jauh ataupun dekat, dan entah itu dalam keadaan aman ataupun dalam keadaan takut akan kedatangan musuh. Bahkan beliau sudah mulai menjamak shalatnya sejak di Madinah sebelum berangkat.
Ketika Umar bin Al-Khathab Radhiyallahu Anhu mengatakan kepada Rasul, kenapa beliau tetap menjamak shalatnya dalam perjalanan, sementara keadaan telah aman dari ancaman musuh, belau bersabda,
“Itu adalah sedekah yang disedekahkan Allah kepada kita, Maka terimalah sedekah-Nya.” (HR. Muslim)
Adapun tentang pihak jarak perjalanan yang diperbolehkan berbuka dan menjamak shalat, terdapat banyak perbedaan pendapat berbuka dan menjamak shalat, terdapat banyak perbedaan pendapat di sana.
Karena memang tidak ada nash yang secara mutlak membatasi jauh dekatnya perjalanan dalam masalah ini. Hanya saja terdapat hadits yang diriwayatkan Imam Ahmad, Muslim, Abu Dawud, dan Al-Baihaqi dari Anas bin Malik Radhiyallahu Anhu, bahwa Nabi menjamak shalatnya jika pergi mencapai jarak tiga mil. Anas berkata,
“Apabila Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam keluar dari Jarak tiga mil atau berapakah farsakh, beliau shalat dua rakaat.”
Menanggapi hadits di atas, Al-Hafizh Ibnu Hajar mengatakan dalam Fath Al-Bari, bahwa hadits ini adalah hadits yang paling shahih dan jelas dalam masalah ini.
Sedangkan jarak minimal perjalanan yang terdapat dalam hadits adalah salah satu mil, sebagaimana, yang diriwayatkan Ibnu Abi Syaibah dari Ibnu Umar Radhiyallahu Anhuma dengan sanad shahih. Dan dengan hadits ini pula, Ibnu Hazm mendasarkan pendapatnya.
Lagi pula, ini adalah keringanan (rukhshah) yang diberikan Allah kepada kita. Dan Allah senang jika keringanan yang Dia berikan, dimanfaatkan dengan baik oleh hamba-Nya. [Cms]
(Sumber: 165 Kebiasaan Nabi, Abduh Zulfidar Akaha, Pustaka Al-Kautsar)