SEBAGAI seorang pria atau suami, penting bagi kita mampu menangkap bahasa lain perempuan. Bahasa adalah alat komunikasi yang selamanya tidak lurus-lurus saja.
Tidak berarti bahwa satu tambah satu sama dengan dua. Karena bahasa, khususnya dari perempuan, bisa dimaknai lain. Tidak selalu satu tambah satu menjadi dua, melainkan bisa tiga, empat, bahkan nol sekalipun.
Baca Juga: Maryam al-Ijliyah Perempuan Insinyur Astronomi Pertama dan Ahli Astrolab
Menangkap Bahasa Lain Perempuan
Hal inilah yang perlu dipahami para pria terutama mereka yang sedang hidup bersama perempuan. Ia bisa ibu, istri, adik, dan juga putri kita.
Bahasa dalam ruang lingkup dunia ini memang agak jelimet. Tidak ada rumus baku yang bisa dipelajari atau dipahami. Semua memancar dari dunia rasa, emosi, dan suasana.
Rasulullah pernah mengisyaratkan hal ini saat membahas soal persetujuan perempuan ketika dilamar. Walau sama-sama perempuan, gadis dan janda memiliki bahasa yang berbeda untuk memberikan sebuah sinyal yang sama.
Ketika mereka setuju dengan lamaran, janda akan menjawab apa adanya. Ya jika ia suka, dan tidak jika memang nggak suka. Tapi, berbeda dengan gadis. Nabi yang mulia mengatakan, diamnya seorang gadis adalah tanda setujunya.
Bayangkan jika wali nikah tidak memahami bahasa perempuan seperti ini. Sinyal-sinyal yang mestinya positif akan tampak seperti negatif. Repot, kan.
Seorang ibu, biasanya mengungkapkan bahasanya dengan gerak wajah. Adapun bahasa yang terucap bisa dipahami lain, atau mungkin sebaliknya.
Misalnya, untuk mengungkapkan keinginannya agar anak melakukan sesuatu, ibu biasanya berwajah cerah jika sang anak menangkap positif keinginan ibu. Walaupun tidak ia ucapkan. Dan begitu pun sebaliknya.
“Ndak usah, Nduk. Untuk keperluan kamu saja,” ungkapnya. Begitu kira-kira ucapan ibu ketika anaknya menghadiahkan uang secara tiba-tiba.
Di momen ini, baiknya sang anak tidak menangkap serius dengan apa yang diucapkan ibu. Melainkan, lebih menyorot sinyal wajah yang dipancarkan. Bayangkan jika sang anak kurang peka, ia mungkin bisa membuat ibunya kecewa.
Momen lain misalnya saat sang anak mengajak ibu berfoto bersama. Ibu akan bereaksi kikuk. Dan spontan mulutnya berucap, “Ah, kamu ada-ada saja, Nduk. Ndak usahlah!”
Sekali lagi, jangan tangkap apa yang diucapkan. Tapi tangkaplah apa yang diinginkan. Dan yang diinginkan bisa terlihat dari reaksi wajah. Lagi-lagi, jangan buat hati ibu yang kita cintai menjadi kecewa.
Begitu pun dengan adik atau anak perempuan. Berbeda dengan anak laki yang biasanya mengatakan apa adanya. Adik atau anak perempuan akan menilai situasi sekitar untuk memberikan jawaban.
Karena itu, jangan cepat terbawa suasana saat jawaban seirama itu terucap. Melainkan, buat suasana baru yang lebih nyaman, tanpa tekanan, sehingga suasana menjadi hanya milik si penanya dan si penjawab.
Terlebih lagi ketika bahasa dialamatkan kepada orang yang paling dekat dengan para lelaki, yaitu istri. Bahasa akan menjadi lebih kompleks, rumit, dan penuh tafsir.
Para suami harus selalu berlatih untuk menangkap reaksi ekspresi fisik daripada jawaban lisan. Karena, isteri akan menggunakan bahasa yang tidak terikat pada satu variable. Melainkan, begitu banyak variable.
Antara lain, suasana emosi, keinginan pihak istri untuk membuat nyaman suami, khawatir mendapat reaksi tidak nyaman dari suami, dan lain-lain.
Contoh, ketika seorang suami bertanya kepada istrinya apakah mau dijemput atau tidak saat pulang dari suatu tempat. Jawaban lisan akan boleh jadi berbeda seratus delapan puluh derajat dari keinginan hati yang diharapkan.
“Kalau Mas nggak sempat, nggak usah. Biar aku naik kendaraan umum saja,” katanya. Begitu kira-kira jawaban yang terucap.
Tapi, benarkah jawaban yang diinginkan isteri memang seperti itu? Ternyata tidak. Ia menginginkan dijemput. Bahkan sangat ia inginkan. Ia berharap suami bisa menangkap itu dengan sesegera mungkin melakukan desakan.
“Sudah nggak papa, biar Mas jemput, ya. Mas sudah siapkan kendaraan kok,” jawabnya. Itulah jawaban yang diinginkan istri.
Bayangkan jika suami tidak mampu menangkap sinyal itu. Akan ada suasana romantisme yang hilang. Mungkin tidak langsung hilang, tapi bertahap menjadi redup, kaku, dan akhirnya hambar sama sekali.
Pada keadaan ini, perempuan lebih memiliki banyak ruang untuk menyimpan rahasia hatinya daripada laki-laki. Semua akan terakumulasi menjadi tumpukan emosi terdata dalam urutan waktu dan kejadian. Dan pada saatnya, jika ada momen, semua akan tertumpahkan begitu dahsyat. [Mh/Cms]