ChanelMuslim.com – Penerjemahan Alquran di Indonesia ternyata sudah lama sekali. Pada pertengahan abad ke-17 M, Abdul Ra’uf Fansuri, seoarang ulama dari Aceh telah memulai langkah yang sangat dibutuhkan umat itu.
Kitab bernama Tarjuman al-Mustafid yang dibuatnya adalah merupakan terjemahan Melayu dari kitab tafsir yang lain, yaitu tafsir al-Jalalain. Karya ini diselesaikan oleh muridnya, Daud Rumi, dan beberapa pengarang belakangan lainnya, dengan mengambil agak banyak bagian dari tafsir al-Baidawi dan al-Kazin (Riddel dalam Braginsky, 1998: 275).
Walaupun kitab ini tergolong sebagai tafsir, tetapi Braginsky (1998) menganggapnya sebagai terjemahan lengkap Al-Qur‘an dalam bahasa Melayu yang pertama, yang seperti lazimnya berbentuk sebagai tafsir dan bukan karangan eksegesis yang rinci.
Meski terjemahannya kurang sempurna, bisa dikatakan Abdul Ra'uf Fansuri sebagai tokoh perintis penerjemahan Alquran berbahasa Indonesia.
Keberanianya melakukan terjemahan ke bahasa Melayu, bermula ketika dititahkan oleh Sultanah Tajul Alam Safiyatuddin untuk menulis Mir‘at al-Tullab pada 1672.
Penerjemahan generasi kedua di Indonesia muncul pada pertengahan tahun 60-an. Baru di awal abad ke-20 M, sejumlah karya-karya terjemahan Alquran lengkap dengan tafsirnya dibuat. Di antara karya-karya tersebut adalah Al-Furqan oleh A Hassan dari Bandung (1928), Tafsir Hidayatur Rahman oleh KH Munawar Chalil, Tafsir Qur'an Indonesia oleh Mahmud Yunus (1935), Tafsir Al-Qur'an oleh H Zainuddin Hamid cs (1959), Tafsir Al-Qur'anul Hakim oleh HM Kasim Bakry cs (1960).
Kemudian, munculnya generasi ketiga yaitu tafsir terjemah lengkap, seperti tafsir An-Nur/Al-Bayan (Hasbi Ash-Shiddieqi, 1966), Tafsir Al-Azhar (Hamka, 1973), Tafsir Al-Quranul Karim (Halim Hasan cs, 1955) dianggap mewakili generasi ketiga.
Setelah melihat berbagai perkembangan itu, pemerintah Indonesia ikut andil juga.
Kementerian Agama pada masa itu telah membentuk sebuah lembaga Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Penafsir Alquran yang diketuai oleh Prof RHA Soenarjo SH, mantan Rektor IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, waktu itu. Tim ini beranggotakan para ulama dan para sarjana Islam yang mempunyai keahlian dalam bidangnya masing-masing.
Kemudian muncullah Tafsir dan Terjemahan pada tahun 1969.
“Kemudian mengalami perubahan pada tahun 1971, terkait ejaan lama. Hurufnya seperti oe, tj,” kata Kepala Bidang Pengkajian Alquran dari Lajnah Pentashihan Mushaf Alquran, Abdul Aziz Sidqi saat ditemui di kantor MUI Pusat, Jakarta, Rabu (31/7).
Pada masa Orde Baru, dari Repelita ke Repelita, pemerintah selalu mencetak kitab suci Alquran. Pada Repelita V (1984-1989), misalnya, telah dicetak 3.729.250 buah Alquran, terdiri dari Mushaf Alquran, Juz 'Amma, Alquran dan Terjemahannya, serta Alquran dan Tafsirnya.
Alquran dan Terjemahan kemudian mengalami perkembangan dan perbaikan baik dalam tata bahasa dan terjemahannya. Hingga tahun 2019, sudah tiga kali Lajnah Pentashihan Mushaf Alquran melakukan perubahan pada Al Quran terjemah. Edisi pertama tahun 1969, edisi kedua tahun 1998 sampai tahun 2000. Di edisi ketiga atau kali ini, rencananya akan disesuaikan dengan PUEBI dan beberapa rekomendasi Ijtimak Ulama Alquran Tingkat Nasional di Bandung, 8-10 Juli 2019. (Mh/Ilham)