ChanelMuslim.com–Guru Besar IPB Bidang Ketahanan dan Pemberdayaan Prof. Euis Sunarti mengusulkan untuk menolak RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU P-KS) atau mengubahnya menjadi RUU Penghapusan Kejahatan Seksual. Berikut adalah beberapa alasannya.
Alasan pertama, RUU P-KS tidak komprehensif karena tidak memuat sekalgus pengaturan norma perilaku seksual. Masyarakat memandang penting pengaturan perilaku seksual bukan hanya pada penghapusan kekerasannya, namun juga meliputi normanya yaitu larangan kejahatan seksual (perilaku seks menyimpang seperti zina, pelacuran, homo dan biseksual)
Dlm RUU P-KS, yang diatur adalah larangan pemaksaannya (pelacuran, aborsi), mengabaikan pelacuran sebagai penyimpangan perilaku seks-nya. demikian juga tidak memasukkan perilaku seks menyimpang lainnya.
Naskah akademik RUU sama sekali tidak mengakomodasi kekerasan seksual terhadap laki-laki yang semakin marak dan menakutkan, yang sebagian besar terkait dengan kejahatan seks menyimpang L987.
“Oleh karenanya, tidak bisa dipisahkan antara pengaturan teknis perilaku seksual (kekerasannya) dengan normanya (larangan perilaku seks menyimpang). Sehingga dipandang penting mengubah RUU ini dari Penghapusan Kekerasan Seksual menjadi Penghapusan kejahatan seksual,” ujar Ketua GiGa (Penggiat Keluarga) Indonesia (Giga Keluarga) tersebut dalam rilis yang diterima ChanelMuslim.com, Kamis (31/1/2019).
RUU ini tidak memenuhi aspirasi masyarakat Indonesia, diduga karena pihak perumus NA dan draft RUU merupakan pihak yang tidak setuju adanya larangan zina dan L987 dalam KUHP.
Kedua, RUU P-KS menegasikan institusi keluarga (rumah tangga). NA dan RUU ini tidak memberi perhatian dan mengakomodasi institusi keluarga di Indonesia yang hidup dengan nilai-nlai konvensional, menjadikan agama (khususnya agama Islam yang dianut mayoritas keluarga Indonesia) sebagai landasan kehidupan. Agama yang dianut keluarga dan masyarakat Indonesia sangat mencela perilaku seks menyimpang.
Secara sosiologis, keluarga di Indonesia menganut paradigma sistem dan struktural fungsional, yaitu pengakuan keluarga sebagai sistem, satu kesatuan dengan struktur yang satu sama lain memiliki fungsi saling melengkapi dan menguatkan. Struktur keluarga (suami-istri; orangtua-anak) dan konsekuensi fungsinya, termasuk pengakuan dan keyakinan bahwa laki-laki sebagai suami menjadi kepala keluarga (UU Perkawinan). Suami sebagai kepala keluarga dituntut role accountability-nya, sebagai amanah juga beban, tidak otomatis menjadikannya mulia. Demikian juga hal sama untuk istri, memiliki peran fungsi dan tugas yang dituntut pertanggungjawabannya.
Keluarga Indonesia tidak menganut paradigma konflik sosial yang menjadi landasan teori feminis dan gender (relasi, identitas, ekspresi gender) yang menjadi dasar pengembangan atau perumusan RUU P-KS ini.
RUU P-KS ini dikembangkan menggunakan feminist legal theory dan gender.
Ketiga, naskah akademik RUU tidak menjadikan UU no. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan sebagai acuan dalam mengelaborasi landasan yuridisnya.
Padahal, UU perkawinan menjadi dasar pembentukan keluarga Indonesia yang di dalamnya mengatur hubungan suami-istri, termasuk pasal yang menyatakan laki-laki sebagai kepala keluarga.
RUU P-KS dikembangkan dengan paradigma feminis dan gender equality yang memandang sistem patriarki (salah satunya ditunjukkan bahwa laki-laki sebagai kepala keluarga) merupakan penghambat perempuan maju, menjadi sumber diskriminasi perempuan sehingga harus diubah dan dihapuskan.
Sehingga RUU ini menjadikan otonomi penuh yang sama laki-laki dan perempuan (dinyatakan dengan frasa Persetujuan yang bebas dari ketimpangan relasi kuasa dan gender), sebagai definisi kekerasan.
Keempat, RUU ini dikembangkan sama sekali tanpa kajian bagaimana dan apa dampak implementasi aturan terhadap institusi perkawinan dan keluarga.
Jika ketiadaan persetujuan dijadikan syarat perilaku seksual itu dikategorikan sebagai pemaksaan dan kekerasan, bagaimana implementasi dan dampaknya dalam perilaku seksual suami-istri dalam keluarga?
Mengapa sama sekali tidak mengangkat hasil-hasil kajian yang berlimpah mengenai marital quality (conflict, satisfaction, happiness) dan dampaknya terhadap perceraian?
Tidak khawatirkah bahwa RUU ini membuka ruang/kesempatan terjadinya marital disharmony, perselingkuhan, dan perceraian? Saat ini, kita justru sedang prihatin karena angka perceraian semakin meningkat, 1000 perceraian per hari, dan 40 perceraian per jam. Sebanyak 70% perceraian diajukan perempuan (istri).
Kelima, RUU ini hanya mengedepankan HAK, tanpa menyeimbangkannya dengan kewajiban. Hak setiap individu untuk terbebas dari kekerasan hendaknya diseimbangkan dengan kewajiban untuk memastikan haknya terpenuhi.
Apalagi jika implementasi hubungan seks antara suami istri dalam ikatan perkawinan, maka penekanan hak saja, akan berpotensi munculnya konflik perkawinan.
Keenam, definisi kekerasan sangat luas dari pelecehan sampai pemaksaan dan penyiksaan, berpotensi multi tafsir, dan dampak implementasinya dalam kehidupan, khususnya dalam hubungan suami-istri.
Pelecehan pun baik yang fisik (mencolek dll) maupun non fisik (kedipan mata. Isyarat.dll). Jika itu diterapkan dlm hubungan laki-laki dan perempuan sebagai suami istri, maka akan berpotensi menimbulkan masalah.
Berdasarkan pertimbangan tersebut, maka RUU ini harus diubah menjadi RUU Penghapusan Kejahatan Seksual, atau dibatalkan.
Ketujuh, komponen pencegahan dalam RUU ini sangat sedikit dan tidak mengelaborasi faktor kekerasan dan penyimpangan seksual yang harus dicegah dan diantisipasi. Lagi-lagi, tidak menjadikan keluarga sebagai bagian penting.[ind]