ALKISAH di sebuah sekolah tingkat menengah pertama semua siswa berkumpul di tengah lapang. Hari itu Kepala Sekolah akan memberikan pengumuman.
Lalu beberapa siswa di panggil ke depan. Sekitar 30 siswa dan siswi berdiri di hadapan ratusan teman-temannya dan para guru. Hari itu mereka harus mempertanggungjawabkan perbuatan mereka terkait perkelahian siswa antar sekolah.
Tidak hanya itu, siswa-siswa yang satu pertemanan ini bergabung dalam grup obrolan via whatsaap. Di dalam grup ini, mereka saling berbagi keresahan dan kegembiraan.
Baca Juga: Respon Guru Jepang saat Orangtua Muslim Mengajukan Menu Makan Siang Halal
Mereka bebas mengungkapkan kekesalan mereka terhadap teman, guru bahkan orangtua. Tidak jarang perkataan kasar terlontar dari mereka. Mereka juga saling bertukar video porno. Padahal rata-rata usia mereka baru 13 tahun.
Setelah itu orangtua mereka dipanggil untuk bertemu pihak sekolah. Beragam reaksi, ada yang menampakan wajah datar, cemas, kecewa bahkan ada yang menangis.
“Anak saya kalau di rumah tidak nakal, Bu. Malah cenderung pendiam,” ujar salah seorang dari mereka.
Rata-rata orangtua tidak tahu perihal pergaulan anak-anaknya di luar rumah. Perilaku anak-anak bisa saja berbeda antara di rumah dengan di sekolah. Banyak hal yang menyebabkan anak berperilaku di luar kewajaran.
Yang paling berpengaruh adalah pola pengasuhan orangtua terhadap anak. Pola pengasuhan yang otoriter bisa mengekang jiwa anak. Pola pengasuhan terlalu dimanja membuat anak tidak mandiri. Pola pengasuhan serba cuek juga mengakibatkan anak merasa terabaikan.
Mengapa pola pengasuhan orangtua yang seperti itu terjadi? Itu juga akibat pola pengasuhan sebelumnya. Ini seperti lingkaran setan. Sesuatu yang tidak tuntas terjadi pada orangtua terkait pola pengasuhan yang diterimanya akan mengakibatkan hal yang sama atau bahkan lebih buruk pada anak-anaknya.
Lalu bagaimana dengan nilai-nilai kearifan lokal. Setiap budaya mempunyai falsafah hidupnya sendiri. Nilai-nilai hidup seperti kerukunan, saling asah, asuh dan asih, saling bantu, saling menghormati dan lainnya tergerus oleh perkembangan dunia.
Dampak yang paling signifikan adalah akibat berkembangnya dunia digital yang menghasilkan manusia-manusia yang materialis dan individualis. Sendi-sendi kehidupan yang biasanya berbasis pada keluarga perlahan hilang. Yang muncul adalah manusia-manusia yang hanya fokus pada kenyamanan kehidupannya sendiri.
Kembali kepada keluarga merupakan hal penting untuk memulai semua perbaikan. Untuk itu perlu ada sekolah untuk orangtua. Sekolah ini yang nantinya memberikan kelas-kelas bimbingan kepada orangtua yanga akan memotivasi dan membantu orangtua untuk menentukan tujuan keluarganya dan mengatasi masalah dalam keluarga.
Sekolah orangtua sudah digagas oleh berbagai pihak seperti Sekolah orangtua Kuttab al faith, Sekolah ayah Edi, atau Program Sekolah Pengasuhan Anak (PSPA) oleh Abah Ihsan. Sayangnya program-program ini masih sangat terbatas pada kalangan menengah ke atas karena biayanya yang tidak murah.
Untuk skala nasional memang sudah ada kelas-kelas penyuluhan keluarga yang digagas pemerintah dan lembaga-lembaga sosial. Namun memang belum terasa kehadirannya karena keterbatasan sumber daya dan dana.
Namun jika sekolah orangtua ini menjadi program pemerintah maka akan menjadi mudah dijalankan dengan melibatkan perangkat-perangkat dan pihak-pihak terkecil dalam masyarakat seperti RT, RW, PKK dan Karang Taruna. Sudah saatnya kita kembali menghidupkan perangkat-perangkat dalam masyarakat ini untuk meningkatkan kesejahteraan dalam berkeluarga dan menyelamatkan generasi muda. [May]