SEORANG ibu mati bunuh diri bersama dua anaknya: di mana kehadiran negara? Ditulis oleh Cahyadi Takariawan.
Ketahanan keluarga Indonesia kembali diuji. Bertubi-tubi persoalan menghimpit keluarga Indonesia, sejak masalah pertengkaran hingga kasus bunuh diri.
Salah satu pemicu persoalan keluarga adalah faktor ekonomi. Sulitnya mencari pekerjaan, sulitnya mencari penghasilan yang layak untuk mencukupi kebutuhan keluarga, ketimpangan kesejahteraan yang makin luas, membuat persoalan ekonomi semakin kompleks.
Kenyataan menunjukkan, tekanan ekonomi bisa berdampak luas dalam kehidupan keluarga. Jika tak ada solusi dan daya dukung sosial yang memadai, masalah ekonomi bisa berkembang menjadi tekanan kejiwaan yang berat.
Beberapa waktu lalu, seorang ibu di Kabupaten Bandung diketahui mengakhiri hidup bersama dua anak kecilnya. Polisi menduga, keputusan mengakhiri hidup dilakukan oleh pelaku karena tekanan ekonomi yang sangat berat.
Jangan cepat menilai bahwa pelaku bunuh diri adalah kalangan yang kurang beriman. Karena terdapat sangat banyak faktor yang saling berhubungan, yang mendorong seseorang nekat mengakhiri hidup.
Kalangan pengamat menilai ini adalah salah satu bukti kegagalan negara dalam menjamin kehidupan yang layak bagi masyarakat kelas bawah. Kehadiran negara belum cukup kuat dirasakan bagi masyarakat kalangan bawah.
Perempuan 34 tahun itu ditemukan gantung diri di kusen pintu kamarnya. Sementara dua anaknya yang berusia 9 tahun dan 11 bulan ditemukan sudah tak bernyawa, tak jauh dari jasad sang ibu.
Sebelum bunuh diri, perempuan itu sempat menulis surat. Dalam suratnya, ia mengungkapkan masalah keluarga yang terkait dengan kesulitan ekonomi dan perbuatan sang suami.
Buntu. Itulah kondisi yang dihadapi ibu dua anak tersebut. Ia tidak tahu jalan keluar. Ia tidak tahu tempat mengadukan persoalan. Ia tidak percaya ada pihak yang bisa membantunya keluar dari masalah yang mendera.
Baca juga: Ibu Tewas Bunuh Diri Setelah Meracuni Dua Anaknya, KPAI Sebut Filisida Maternal
Ibu Mati Bunuh Diri, Negara Diam
Jika kita bawa ke kisah zaman terdahulu, kita bertemu perempuan miskin yang memasak batu untuk menghibur anak-anaknya yang kelaparan.
“Khalifah tidak memedulikan kondisi kami”, begitu ucapannya. Ia tidak tahu sedang berbicara dengan Khalifah.
Segera Khalifah bergegas mengambil gandum ke baitul mal negara, dan mengangkat sendiri karung gandum itu agar diberikan kepada ibu yang tak memiliki apapun untuk dimasak.
Zaman dulu, Khalifah Umar sangat khawatir jika ada unta mati di masa kepemimpinannya, kelak ia akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah. Bagaimana dengan ibu yang mati karena beban ekonomi?
Bagaimana dengan ibu yang tak bisa tega membiarkan anak hidup di muka bumi tanpa kehadiran kasih sayangnya?
Jika hanya ia yang mengakhiri hidup, rasa keibuannya tercabik – – karena harus membiarkan kedua anaknya hidup bersama ayah yang dinilai tidak bertanggung jawab. Ia tidak membiarkan hal itu terjadi.
Maka ia memutuskan mengakhiri hidup bersama kedua anak tercinta. Agar anak-anaknya tak merasakan penderitaan berkepanjangan.
Tentu saja – -ini adalah wujud cinta yang luar biasa besarnya. Sekaligus wujud cinta yang luar biasa kontradiktifnya – – bahwa lantaran cinta, seorang ibu harus menghilangkan nyawa dua anak yang tak berdosa.
Di mana negara? Di mana para pejabatnya? Haruskah menunggu semakin banyak kasus viral baru bisa ditindaklanjuti?
Surat tulisan tangan perempuan itu adalah hempasan keputusasaan. Ia tidak melihat dan merasakan kehadiran negara untuk melindungi dan mengasihi.
Maka melalui surat itu ia menyampaikan permintaan maaf kepada seluruh keluarganya, termasuk kepada kedua anak yang telah meninggal dunia.
Sungguh Indonesia berduka. Indonesia terluka. Hati dan jiwa kemanusiaan kita tengah dipertanyakan keberadaannya.[ind]
*) Dihimpun dari berbagai sumber





