MESKI mengajak ke jalan yang diridhai Allah, dakwah selalu ada tantangannya. Bahkan kadang sesama dai.
Pada abad keenam hijriyah, ada seorang ulama yang begitu fenomenal. Hingga kini, hikmah dan dakwahnya masih dikaji umat Islam, termasuk di Indonesia.
Beliau bernama Syaikh Ali bin Abdullah, rahimahullah. Tapi, orang lebih mengenal dengan julukannya, yaitu Abu Hasan Assyadzili. Tariqat yang beliau ajarkan biasa disebut Syadziliyah.
Beliau lahir di sebuah daerah di Maroko pada tahun 599 hijriyah. Nama julukan beliau berkait dengan daerah tempat beliau lahir.
Abu Hasan Assyadzili termasuk ahlul bait, keturunan dari Sayidina Hasan bin Ali radhiyallahu ‘anhuma.
Beliau hidup di zaman yang tak jauh dengan Syaikh Abdul Qadir Jilani, rahimahullah. Nama ini juga masih begitu kuat di masyarakat Indonesia.
Keduanya: Abu Hasan Assyadzili dan Abdul Qadir Jilani merupakan waliyullah yang kiprah dakwahnya menembus begitu banyak kalangan, mulai dari rakyat biasa hingga para sultan dan amir.
Suatu hari, Abu Hasan Assyadzili pergi berdakwah ke Tunisia. Banyak ulama lokal yang ikut bergabung dan bekerja sama dengan beliau. Kian hari, pengaruh Assyadzili kian mendominasi wilayah Tunisia.
Nah, di saat itulah, ada seorang tokoh agama lokal yang juga pejabat semacam kementerian agama yang merasa tersaingi. Tokoh ini melobi sultan. Ia mengatakan, “Pengaruhmu kini diambil alih oleh Assyadzili.”
Termakan dengan provokasi itu, sultan mencari cara untuk menjatuhkan Assyadzili. Akhirnya ia mengumpulkan seluruh tokoh ulama lokal untuk berdebat dengan Assyadzili. Debat tersebut dilakukan secara terbuka.
Namun, skenario menjatuhkan Assyadzili justru berbalik. Bukannya Abu Hasan Assyadzili yang ‘kalah’. Justru, semua tokoh agama lokal yang akhirnya tak berkutik. Mereka menjadi tertarik dengan Assyadzili.
Tak lama setelah peristiwa rekayasa penjatuhan itu, tiba-tiba istri sultan sakit dan meninggal dunia. Dan ketika sultan dan para punggawa istana sedang memakamkan, kebakaran hebat terjadi di istana. Hampir semua barang mewah hangus.
Menyadari kekeliruannya, sultan meminta maaf kepada Abu Hasan Assyadzili. Sultan juga menawarkan Assyadzili sebagai pejabat dan ulama besar di Tunisia. Tapi, hal itu ditolak Assyadzili. Beliau justru hijrah ke Mesir untuk berdakwah di lahan yang baru.
Dari situlah ketokohan Assyadzili begitu mewarnai keislaman Mesir. Dari Mesir ini pula dakwah-dakwah Assyadzili tersebar ke banyak negara, termasuk Indonesia.
**
Bukan dakwah kalau tanpa tantangan dan hambatan. Justru dengan begitulah, dakwah menjadi tersebar di banyak kalangan.
Kunci suksesnya hanya satu: sabar. Sabar dalam arti tetap istiqamah meski mengalami hal yang tidak mengenakkan. [Mh]