ChanelMuslim.com-Masih terbayang betapa tidak berdayanya saya menghadapi keempat anak saya 6 tahun yang lalu, yang berakhir dengan
“Kalau saya meninggal nanti, mereka bisa apa..”
Sebutkan saja, dengan tipikal ibu tidak mau repot seperti saya (saat itu) saya lebih memilih menyuapi ketiga anak saya ketika makan tiba dibanding dengan membiarkan mereka makan sendiri, padahal saat itu Kakak berumur 8 tahun, Abang 1 berumur 6 tahun, Abang 2 berumur 3 tahun (Adik bayi baru 4 bulan) dengan alasan malas merapihkan sisa makanan yang ditinggalkan jika mereka makan sendiri, hal lainnya bisa dibayangkan saja hingga saya berpikir demikian.
Sejak saat itu, saya bertekad untuk mengubah pola asdik (asuh didik). Tidak mudah memang, tapi perlu, agar pertanyaan saya bisa ada jawabannya.
Perubahan dimulai dengan belajar kecewa. Bagaimana mereka dapat melewati rasa kecewa dengan aman, meski tidak hanya terbatas dengan rasa kecewa saja, tapi rasa gembira maupun suka cita juga perlu dilewati dengan aman.
Aman itu mencakup 3 hal, tidak menyakiti orang lain, tidak merusak barang, dan tidak menyakiti diri sendiri.
Setelah belajar kecewa kemudian dilanjutkan berdagang dengan anak lewat usaha vs upah.
Usaha vs upah, kita mau pilih yang mana. Mau anak belajar tentang usaha atau upah. Semuanya tergantung kita sebagai ortu mau bagaimana anak kita nantinya. Anak bermental usaha atau bermental upah. Kita yang memutuskan.
Awalnya saya ‘nggak ngerti’ apa yang saya bilang bisa berakibat apa nantinya.
“Kak, tolong beliin sabun, ntar Ummi kasih seribu..” atau
“Bang, kalau mau ikut Ummi, beresin dulu mainannya..”
Bagi saya kalimat-kalimat di atas, tidak ada artinya. Sama semuanya, saya senang, anak senang, masalah selesai
Tapi, setelah mengubah cara asdik pada anak-anak, ternyata kedua pernyataan di atas memiliki arti berbeda. Jadi,
Usaha = kita sebut dulu barang yang mau didapatkan (anak), baru sebut syarat/harga yang harus dibayar, tujuannya untuk menanamkan konsep berusaha/berjuang.
Upah = kita sebut dulu yang perlu dilakukan/harga, baru apa yang bisa didapatkan/bayarannya.
Sudah bingungnya? Selamaaat yaaa
Merujuk kalimat pernyataan di atas, si Kakak itu pakainya format upah sedangkan si Abang menggunakan format usaha. Kelihatannya hal sepele yaaa, cuma sebagai ortu yang ingin anaknya punya mental usaha, saya mulai mengubah pernyataan-pernyataan saya pada mereka.
‘gampang’nyaaa, apa yang anak pengen dibolehiiiin aja semuaaa..”boleh..tapi…” “boleh..setelah..” “boleh..ini/itu dulu..” kalau maunya mereka ‘murah’ yaaah kita ‘murahin’ syaratnya, kalau maunya mereka ‘mahal’ yaaa kita ‘mahalin’ syaratnya.
“boleh nonton youtube malem, tapi jam 5 sore sudah rapi (mandi dan ashar)”
“boleh main di luar, setelah makan dihabiskan.”
Mudah? Kata siapa?! Belibet iyaa, tiba-tiba lupa ‘rumus’, mengulangi pernyataan sebagai format usaha lagi. Akibatnya, saya dicap “ummi sekarang banyak persyaratannya. aaaaahhhh…” “ummi, koq gitu sik sekarang…” “aaaah, malessss sama ummi…” menjadi fasbel(fasilitas belajar) anak memang tidak mudah, jiwa tega musti sering diasah, nggak itu aja, kuping juga musti kebal komentar
Tapi, ada harga ada rupa dunk yaaa. Kalau dulu anak-anak bilang “..aku dapat apa..” kalau dimintain ‘tolong’ tapi sekarang sudah mulai “..aku usaha apa, Mi” untuk dapetin apa yang mereka mau..yaaaay !!
Dan sekarang 6 tahun berlalu, anak-anak sudah terbiasa dengan “aku harus apa” untuk mendapatkan keinginannya. Yang terpenting, saya sudah tidak galau lagi dengan pertanyaan saya saat itu.