THE duality of Good and Bad: remaja membunuh ortu dari perspektif sains terhadap paparan media. Ditulis oleh Mila Anastasia di laman Facebook-nya.
Ada sesuatu yang menggugah nurani ketika tidak sengaja membaca headline berita seorang anak 14 tahun baru-baru ini membunuh Ayah (40), nenek, serta ibunya (40) yang alhamdulillaah ibunya selamat namun dalam kondisi kritis.
Masalahnya, anak ini (inisial MAS), dalam rentang waktu singkat, melakukan tindakan yang tak terbayangkan, padahal setengah jam sebelumnya tidak ada tanda-tanda mencurigakan. Normal seperti biasa, jam 1 dini hari masih berkomunikasi dengan teman-temannya membahas tugas sekolah, setengah jam kemudian membantai seluruh keluarganya.
Semua orang yang mengenal Mas bahkan gurunya bersaksi, MAS ini anak baik-baik, anak rumahan, tipikal anak lurus-lurus saja.
Then, kenawhy??? Bahkan Psikolog pun keheranan.
Seolah seperti psikop*t di film-film yang berbuat kejahatan tanpa rasa bersalah. Apa penyebab semua ini?
Ada yang menduga karena tekanan orang tuanya yang menginginkannya untuk sukses dalam sekolah, namun gagal masuk sekolah favorit yang diinginkan. Bisa jadi frustasi atas kegagalan, tekanan sekeliling.
Dari sudut pandang psikologis, tentu ada banyak faktor. Psikolog menceritakan bagaimana kasus ini membuat banyak orang tua paranoid hingga mengunci rapat-rapat kamar mereka. Karena anak baik-baik yang tidak ada tanda-tanda apapun, bisa jadi menyimpan sisi kelam dalam diri yang bisa mencuat kapan saja.
Nah, yang ingin saya soroti adalah paparan media. Di podcast DC, psikolog yang mendampinginya menunjukkan beberapa gambar MAS yang semuanya nampak normal tokoh komik pada umumnya, kecuali 1 gambar yang agak disturbing di mana ada darah yang berceceran. Dari sini, intuisi saya langsung menebak, jangan-jangan ini anak suka membaca manga atau nonton Anime bergenre Gore (kekerasan). Ternyata penelusuran saya jauh lebih menarik untuk dianalisa.
Dari sumber media lain, saya mendapat informasi MAS ini senang membaca komik berseri ‘Berserk’, yang temanya sangat dark dan sebenarnya lebih cocok untuk 21+, karena berisi violenc* dan nud*ty, bahkan saking kelamnya tidak diterbitkan di negara kita, melainkan impor.
Dari informasi, si MAS ini mengidolakan tokoh Griffith, main antagonis. Di LN, konon Berserk ini sangat popular, karena kisahnya kompleks, dan mengeksplore sisi baik dan buruk manusia yang adakalanya blur menjadi satu dan tidak hitam putih.
Kita terbiasa dengan tipikal karakter yang sederhana kalau baik sudah pasti baik atau sebaliknya kayak sinetron Indonesia atau tokoh Disney. Namun di dalam Berserk, kita disuguhkan dengan tokoh utama, Guts, yang hidupnya penuh depresi, ujian bertubi-tubi, sifatnya yang cenderung anti-hero, serta bahkan berpenampilan seperti seorang yang siap menebas siapapun di depannya. Sifat defensif berlebihan yang kalau dalam ilmu psikologi merupakan coping mechanism untuk bertahan ketika terbiasa mengalami cemas, takut, dan insecure.
Sedangkan tokoh antagonisnya, Griffith, justru digambarkan begitu sempurna layaknya sosok yang diidamkan dan begitu ditunggu – tunggu macam ramalan datangnya sang juru selamat.
Griffith meskipun terlihat terang dan bercahaya, menyimpan setitik kegelapan di dalamnya. Hal ini karena motivasi serta egonya yang pada satu titik membuatnya rela mengorbankan orang-orang yang selama ini mendukungnya, termasuk membun*h mereka. Akibat keputusasaan, dendam pribadi dan ambisi yang bangkit kembali.
Sisi spesial dari Berserk adalah penyuguhan sifat realistis manusia, yang tidak hitam dan putih tapi campuran keduanya. Menjadikan komik ini terasa realistis, mungkin inilah yang membuat MAS merasa relate dengan tokoh-tokohnya.
Dari sini saya jadi teringat kisah bertahun silam (2017), ketika seorang murid SMA di Taruna Nusantara membunuh kawannya, lalu mengaku dia merasa seolah seperti Rambo.
Meskipun ada motivasi kesal terhadap kawannya, tapi bagaimana bisa anak-anak yang terkesan baik dan pintar ini bisa kehilangan akal sehatnya? Kesamaan balas dendam atas hal yang sepele, juga kesamaan paparan tontonan atau bacaan di mana tokoh idola mereka punya sisi baik dan gelap bersamaan, baik Rambo maupun Griffith.
Baca juga: Hukum Membunuh Hewan Pengganggu
Perpektif Sains
Lantas, bagaimana seorang anak baik-baik bisa melakukan tindak kekerasan nyaris merasa tanpa bersalah saat melakukannya? Selain penjelasan bisikan yang ada faktor genetik, tapi faktor eksternal jauh lebih besar proporsinya, paparan media menurut penelitian bisa menjadi faktor pemicu:
1. Neuron cermin dan pengalaman virtual
Otak kita memiliki neuron cermin yang memproses tindakan yang kita lihat, seolah-olah kita sendiri yang melakukannya.
Menurut studi dari University of Wisconsin, konten media yang emosional dapat memicu respons otak serupa dengan pengalaman nyata:
https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC2865077/
Ketika seorang anak sering terpapar cerita atau gambar kekerasan, otaknya bisa memproses itu sebagai bagian dari realitas emosionalnya, apalagi di masa-masa mumayyiz ketika kemampuan membedakan yang baik dan yang buruk baru terbentuk.
Konten seperti ini bisa terintegrasi dalam memorinya seolah itu bagian dalam dirinya dan membuatnya terinspirasi melakukan hal yang serupa.
2. Desensitisasi terhadap kekerasan
Penelitian oleh American Psychological Association menunjukkan bahwa paparan berulang terhadap kekerasan di media dapat menyebabkan desensitisasi emosional (respon emosional terhadap stimulus yang negatif).
Kekerasan menjadi tampak “normal” dan, dalam kasus tertentu, dianggap sebagai solusi atas konflik:
https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC4522002/
Sebuah penelitian lain menunjukkan paparan terhadap kekerasan dalam video game dapat menyebabkan desensitisasi fisiologis terhadap kekerasan di kehidupan nyata:
https://www.sciencedirect.com/science/article/abs/pii/S0022103106000825
3. Pengaruh media terhadap empati
Sebuah penelitian mengeksplorasi bagaimana paparan kekerasan dalam media dapat mengurangi empati dan respons emosional terhadap kekerasan dalam kehidupan nyata:
https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC4393354/
Jadi, terjawab sudah mengapa seorang psiko bisa melakukan kekerasan tanpa ekspresi seolah tidak merasa bersalah sama sekali.
4. Pengaruh visualisasi pada otak
Sebuah eksperimen menunjukkan bahwa visualisasi mental dapat mempengaruhi otak hampir seperti pengalaman nyata. Jadi apa yang Anda lihat melalui tontonan atau bacaan, otak bawah sadar kita tidak sepenuhnya bisa membedakan apakah itu real atau sekadar tontonan.
Penelitian oleh Shepard dan Metzler (1971) misalnya menunjukkan seseorang memerlukan waktu lebih lama untuk memutuskan apakah dua objek tiga dimensi yang diputar pada sudut berbeda adalah sama atau tidak. Hal ini menunjukkan bahwa otak memproses rotasi mental objek seolah-olah itu adalah rotasi fisik nyata:
https://psycnet.apa.org/record/1971-28060-001
Kosslyn (1995) menggunakan pencitraan resonansi magnetik fungsional (fMRI) untuk menunjukkan area otak yang diaktifkan selama visualisasi mental serupa dengan yang diaktifkan selama persepsi visual nyata. Ini mendukung hipotesis otak memproses visualisasi mental dengan cara yang mirip dengan pengalaman nyata:
https://psycnet.apa.org/record/1996-97193-007
Dalam kasus MAS, kesukaannya pada gambar dan cerita kekerasan bisa jadi menciptakan pengaruh bawah sadar, mempersempit jarak antara imajinasi dan kenyataan.
Baca juga: Pentingnya Keterampilan Komunikasi untuk Anak-Anak
Selain media, tentu saja ada banyak faktor lain, seperti tekanan emosional, pola asuh, hingga gangguan psikologis yang mungkin tidak terdeteksi sebelumnya.
Ketika anak merasa terisolasi secara emosional dan tidak memiliki saluran sehat untuk meluapkan frustrasi, risiko perilaku destruktif meningkat.
Hal lain yang perlu diperhatikan adalah laporan bahwa MAS mendengar “bisikan” sebelum melakukan tindakannya. Ini bisa menjadi indikasi adanya gangguan psikologis serius seperti psikosis atau stres akut yang menyebabkan delusi sementara.
Sebagai masyarakat, kita perlu refleksi:
– Apakah kita cukup memperhatikan kesehatan mental anak-anak kita?
– Apakah kita memberikan ruang bagi mereka untuk mengungkapkan tekanan emosionalnya tanpa takut dihakimi?
-Bagaimana kita dapat mengawasi dan mendampingi konsumsi media mereka tanpa terlihat mengekang?
Tragedi ini adalah alarm keras bagi kita semua. Semoga kasus ini menjadi pelajaran penting untuk lebih memperhatikan kesehatan mental remaja, pola asuh yang seimbang, serta dampak media terhadap perkembangan psikologis mereka.[ind]





