AYAH IBU paling berjasa untuk semua orang. Tanpa pamrih, tanpa menyerah, dan punya seribu satu harapan.
Ada seorang bijak tentang jasa seorang ibu. Jawabannya mungkin di luar dugaan si penanya.
Seseorang bertanya, “Saya sudah berjasa untuk ibu saya. Apakah jasa itu sudah terbalas?”
Orang bijak menanyakan tentang jasa apa yang sudah ia berikan kepada ibunya.
“Saya menggendong ibu saya selama menunaikan ibadah haji. Kemana pun ibu saya pergi, saya selalu menggendongnya,” jawab si penanya.
“Jasamu itu tak sebesar ujung jari ini,” ungkap orang bijak seraya menunjukkan ujung jarinya sebatas kuku.
“Kenapa?” tanyanya lagi.
“Perhatikanlah! Ibumu menggendongmu dengan harapan kamu bisa tumbuh besar dan punya kemandirian. Sementara kamu, boleh jadi, menggendong ibumu dengan batas pikiran bahwa suatu saat ia akan mati,” pungkas orang bijak.
**
Allah subhanahu wata’ala mengumpamakan kerendahan hati seorang anak kepada ayah ibunya yang sudah tua dengan dua sayap burung (janaaha): dan rendahkanlah dirimu terhadap keduanya dengan penuh kasih sayang… (QS. 17: 24).
Siapa pun kita, dahulunya seorang bayi, seperti anak burung yang hanya bisa menganga ketika induknya datang ke sarang membawa sesuatu. Manakala si anak burung dewasa, dua sayapnya yang berperan dalam mencari makan. Bukan lagi induk mereka.
Di saat seorang anak tumbuh dewasa dan bisa mencari makan, saat yang sama pula orang tua mungkin tak lagi mampu mencari makan.
“Rendahkanlah sayapmu saat di hadapannya!” Jangan tunjukkan kelebihanmu, kecerdasanmu, kekuatanmu; di saat usia lemah mereka, karena dulunya kamu hanya bisa menganga.
Hormati orang tua yang sudah lemah, dan sayangi mereka sebagaimana mereka menyayangi kita di saat kecil. [Mh]