MAJELIS Ulama Indonesia (MUI) melalui Ijtima Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia VII telah mengharamkan ucapkan salam agama lain karena bukan bagian dari toleransi dan bersifat peribadatan.
“Pengucapan salam dengan cara menyertakan salam berbagai agama bukan merupakan implementasi dari toleransi dan/atau moderasi beragama yang dibenarkan,” ucap Ketua MUI Bidang Fatwa Prof Asrorun Niam Sholeh dalam keterangan di Jakarta, Kamis.
Selain itu pengucapan salam termasuk bagian dari doa yang bersifat ‘ubudiyyah atau peribadatan sehingga harus mengikuti ketentuan syariat serta dilarang mencampuradukkan dengan ucapan salam dari agama lain.
“Pengucapan salam yang berdimensi doa khusus agama lain oleh umat Islam hukumnya haram,” bunyi salah satu poin keputusan MUI tersebut.
MUI Haramkan Umat Islam Ucapkan Salam Agama Lain, Bukan Bagian dari Toleransi dan Bersifat Peribadatan
Penggabungan ajaran berbagai agama, termasuk pengucapan salam, dengan menyertakan salam berbagai agama dengan alasan toleransi dan/atau moderasi beragama bukanlah makna toleransi yang dibenarkan.
Sebagai solusinya, Prof Niam menyarankan umat Islam agar mengucapkan salam dengan Assalamu’alaikum, salam nasional, atau salam lainnya, yang tidak mencampuradukkan dengan salam doa agama lain, seperti selamat pagi, dalam forum yang terdiri atas umat Islam dan umat beragama lain.
Islam menghormati pemeluk agama lain dan menjamin kebebasan umat beragama dalam menjalankan ajaran agama, sesuai dengan keyakinannya dengan prinsip toleransi dan tuntunan Al-Quran pada ayat “lakum dinukum wa liyadin” (untukmu agamamu dan untukku agamaku), tanpa mencampuradukkan ajaran agama atau sinkretisme.
“Dalam masalah muamalah, perbedaan agama tidak menjadi halangan untuk terus menjalin kerja sama dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara secara harmonis, rukun, dan damai,” tutur Prof Niam.
Sebagai informasi, acara Ijtima Ulama ini diikuti oleh 654 peserta dari unsur pimpinan lembaga fatwa ormas Islam tingkat pusat, pimpinan Komisi Fatwa MUI se-Indonesia, pimpinan pesantren tinggi ilmu-ilmu fikih, pimpinan fakultas syariah perguruan tinggi keislaman, perwakilan lembaga fatwa negara ASEAN dan Timur Tengah, seperti Malaysia dan Qatar, individu cendekiawan Muslim dan ahli Hukum Islam, serta para peneliti sebagai peninjau.
[Ln]