SAYA merasa sudah menghina Allah dalam lintasan hati. Saya seorang wanita berusia 27th. Saat ini, saya sedang dilanda kegelisahan yang teramat berat bagi saya. Saya menderita penyakit was was.
Beberapa waktu yang lalu, saya merasa sudah menghina Allah Subhanahu wa taala di dalam hati karena alasan tertentu, tapi saya itu lupa, apakah saya menghina Allah atau saya hanya berbicara kotor di dalam hati.
Dan terlintas di fikiran kalau saya murtad. Lalu saya bersyahadat. Tetapi di saat saya bersyahadat itu, rasanya lidah saya kelu dan badan saya gemetar karena saking takutnya jika syahadat saya tidak sah.
Setiap hari, saya ulang-ulang syahadat tetapi setelah saya mengucap syahadat rasanya terlintas lagi fikiran “kamu belum syahadat” jadi itu syahadatnya saya ulang terus menerus sampai saya pusing memikirkan hal tersebut.
Dan sampai sekarang, saya masih merasa bahwa saya belum bersyahadat. Jika saya biarkan atau tidak saya gubris, hati dan pikiran saya tidak tenang karena ini menyangkut agama.
Saya takut jika saya masih belum muslim, jadi saya terus mengingat-ingat apakah saya sudah bersyahadat atau belum.
Saya benar-benar lelah dengan penyakit ini. Sampai saya berfikir apa saya harus berbicara dengan ibu saya agar menjadi saksi saya bersyahadat, Pak Ustaz.
Dan apakah sah syahadat seorang wanita yang sedang haid/tidak menutup aurat dengan sempurna, dan apakah sah jika ibu saya menjadi saksi syahadat tapi beliau haid/tidak menutup aurat dengan sempurna?
Dan apakah saya wajib mengucap dua kalimat syahadat kembali atau cukup dengan syahadat saya yang saya ulang-ulang dari kemarin.
Mohon penjelasannya ya, Pak Ustaz. Semoga Pak Ustaz selalu dilindungi oleh Allah Subhanahu wa taala, amin..(YR- Banyuwangi)
baca juga: Ya Allah Yang Maha Pengasih
Menghina Allah dalam Hati
Ustaz Farid Nu’man Hasan menjawab hal ini sebagai berikut.
Semoga Allah Ta’ala menjaga Anda dan keluarga. Menghina Allah Ta’ala ada beberapa keadaan:
1. Menghina Allah Ta’ala lewat lisan/ucapan secara sadar dan ada maksud
Ini merupakan sebab murtadnya seseorang dari Islam. Baik dia lakukan secara serius atau nada bergurau, tapi dia sadar dan bermaksud, maka pelakunya kafir.
Salah satu ulama Al Azhar, Syaikh Khalid Abdul Mun’im ar Rifa’i menjelaskan:
فقد أجمع أهل السنة على أنه يشترط في القول المكفر قصد قد قصد سواء كان جاداً أو مازحاً فإنه كافرٌ كفراً مخرجاً عن الملة عليه أن يتوب إلى الله عز وجل وسب الدين مازحاً أشد
Ahlussunah telah ijma’ bahwa perkataan yang dapat membuat kafir pelakunya disyaratkan adanya maksud dari pengucapnya baik itu serius atau bergurau, maka pelakunya kafir dan keluar dari millah (Islam).
Wajib baginya bertobat kepada Allah Ta’ala, ada pun menghina agama dengan nada bergurau itu lebih parah lagi. (dikutip dari Mawqi’ Thariqul Islam)
Imam Ibnu ‘Askar mengatakan:
وَمَنْ سَبَّ اللهَ أَوْ نَبِيّاً قُتِلَ دُونَ اسْتِتَابَهٍ، وَالْمُرْتَدُّ يَحْبَطُ عَمَلُهُ.
Siapa yang mencela/memaki Allah atau seorang nabi maka dia dibunuh tanpa dia bertobat. Dia murtad dan terhapus amalnya.
(Irsyad as Saalik Ila Asyraf al Masaalik fi Fiqh al Imam Malik, hlm. 114)
Ada pun bagi yang tidak sadar, atau tidak bermaksud, seperti keceplosan (Zallatul Lisaan atau sabqul lisaan), maka ini tidak dihukumi apa-apa.
Dalam hadis Shahih Muslim, Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam menceritakan orang yang kehilangan untanya, ketika dia lelah mencarinya sampai putus asa lalu beristirahat di bawah pohon, tiba-tiba unta itu datang.
Laki-laki itu sangat girang, saking girangnya dia berucap:
اللهم أنت عبدي وأنا ربك، أخطأ من شدة الفرح
Ya Allah, Engkau Hambaku, Aku adalah Tuhanmu. Dia salah karena saking bahagianya. (HR. Muslim no. 2747)
Ucapan laki-laki ini jelas kekufuran, namun karena ini keceplosan, bukan sengaja, maka tidak dinilai apa-apa.
وَلَيۡسَ عَلَيۡكُمۡ جُنَاحٞ فِيمَآ أَخۡطَأۡتُم بِهِۦ وَلَٰكِن مَّا تَعَمَّدَتۡ قُلُوبُكُمۡۚ
Dan tidak ada dosa atasmu jika kamu khilaf (tidak sengaja ) tentang itu, tetapi (yang berdosa) apa yang disengaja oleh hatimu. (QS. Al Ahzab: 5)
2. Menghina Allah Ta’ala di hati
Untuk jenis ini terbagi menjadi dua bagian lagi:
Pertama, sekadar lintasan hati.
Hinaan yang muncul berupa lintasan hati, tidak menjadi maksud dan keyakinan, maka belum dihukumi apa-apa.
Jika terjadi berulang-ulang maka itu adalah was was yang harus dihilangkan, dan orang yang mengalaminya hendaknya jangan biarkan diombang-ambingkan oleh pikiran-pikiran seperti itu, yakinilah bahwa dirinya masih muslim.
Syaikh Abdullah Al Faqih mengatakan:
فسب العبادة أو سب الله تعالى أو سب دينه، إن كان مجرد خاطر وحديث نفس، فلا يؤاخذ به العبد ما لم يتلفظ به، أو يعمل بمقتضاه، أو يستقر في قلبه بحيث يصير اعتقادا لا ينفر منه صاحبه ولا يكرهه
Menghina ibadah atau Allah Ta’ala atau agama jika semata-mata lintasan atau ungkapan jiwa maka belum dinilai apa-apa bagi hamba tersebut (maksudnya: masih muslim) selama belum diucapkan, atau belum melakukan apa-apa yang sesuai ucapannya, atau belum mengikrarkan di hatinya yang membuatnya menjadi sebuah keyakinan.
(Fatawa Asy Syabakah Al Islamiyyah no. 132288)
Dalilnya adalah hadis Nabi Shallallahu alaihi wa sallam:
إن الله تَجَاوَزَ عن أمتي ما حَدَّثَتْ به أَنْفُسَهَا، ما لم تَعْمَلْ أو تتكلم
Allah Ta’ala membiarkan yang terjadi pada umatku apa-apa yang masih terlintas dalam jiwanya, selama belum menjadi perkataan atau tindakan. (HR. Muttafaq ‘Alaih)
Kedua. Menghina di hati dengan keyakinan, maksud, dan kesadaran.
Maka ini dihitung kafir, berdasarkan penjelasan-penjelasan di atas.
Firman Allah Ta’ala:
وَلَٰكِن مَّا تَعَمَّدَتۡ قُلُوبُكُمۡۚ
Tetapi apa yang disengaja oleh hatimu. (QS. Al Ahzab: 5)
Jika melihat cerita Saudara penanya, maka Saudara penanya masih kategori kelompok satu, yaitu baru sekadar lintasan dan was was, masih sebagai muslimah.
Maka, tetaplah istiqamah dalam Islam, dan berlindung kepada Allah Ta’ala dari was was. Demikian. Wallahu a’lam.[ind]