MENCARI Ibn Athaillah. “Ilāhī, anā al-faqīr fi ghināi, fa kayfa lā akūnu faqīran fi faqri.“ Tuhanku, aku adalah hamba yang faqir dalam kekayaanku. Lalu, bagaimana aku tidak menjadi orang yang faqir, dalam kefakiranku.
Untaian kata indah itu merupakan bait-bait hikmah yang terpahat di pintu gerbang makam Ibn Athaillah As-Sakandari.
Penulis buku Journey to the Light Uttiek M. Panji Astuti menulis pengalamannya menelusuri makam ulama tersebut di Mesir yang diunggahnya di IG @uttiek.herlambang, (16/03/2023).
Ulama yang terlahir dengan nama panjang Taj al-Din Abu’l Fadl Ahmad ibn Muhammad ibn ‘Abd al-Karim ibn Atha ‘illah al-Iskandari al-Syadzili, itu lahir di Iskandariah (Alexandria) pada 648 H atau 1250 M, dan wafat di Kairo pada 1309 M.
Semasa hidupnya, tak kurang 20 karya dihasilkannya. Termasuk kitab tasawuf, tafsir, aqidah, hadits, nahwu, dan ushul fiqh. Magnum opusnya adalah kitab al-Hikam. Kitab itu pula yang membuat saya jatuh cinta padanya.
Bukan sekadar kumpulan kata-kata yang indah, namun kitab itu mencerminkan kebeningan hatinya. Siapapun yang membaca niscaya akan terhanyut menuju pusaran cinta Sang Maha Cinta.
Itu pula yang membuat saya merasa perlu menyusuri jejaknya di Kairo.
“Baullak eih, fein masjid Ibnu Athaillah as-Sakandari –Eh, masjid Ibnu Athaillah di mana?“ seru Islam, nama supir tuk-tuk itu dalam bahasa Arab amiyah pada pedagang tomat yang dijumpainya di pinggir jalan.
Tuk-tuk adalah alat transportasi roda tiga yang di Jakarta dikenal dengan sebutan bajaj. Saya sudah tuliskan di tulisan sebelumnya bagaimana polah supir tuk-tuk di Kairo.
Baca Juga: Apa yang Tidak Diberikan Allah Itu Rezeki
Mencari Ibn Athaillah
Islam ngepot kiri-kanan dan berhenti sembarangan menanyakan jalan menuju makam Ibn Athaillah. Termasuk pada pedagang tomat yang menggelar karung dagangan seenaknya di perempatan jalan.
Sebenarnya makam Ibn Athaillah masyhur di Kairo.
Hanya saja, saat ini sedang ada proyek pembangunan jalan layang yang sangat massif di area itu, sehingga hampir semua aksesnya tertutup. Paling mudah menjangkaunya menggunakan tuk-tuk.
View this post on Instagram
Keseruan naik tuk-tuk di jalanan proyek yang bergitu terjal, naik-turun dan berdebu membuat saya merasa menjadi salah satu dari 3 sahabat, Farhan, Raju dan Rancho di film India box office 3 Idiots.
“Ciiiittttt….” tetiba Islam menghentikan laju tuk-tuknya di tengah jalan dan bertanya pada pengendara mobil yang mau saja menghentikan laju mobilnya dan menjawab pertanyaan Islam.
Setelah itu, mereka masih basa-basi dan ngobrol di tengah jalan!
Setelah bertanya lebih dari 10 kali, jalan mana yang bisa dilewati, termasuk pada,
“Orang itu preman di daerah sini, hati-hati!” katanya dengan ringan, yang membuat saya dan mahasiwa Al Azhar yang menemani hanya bisa bengong.
Masjid Ibn Athaillah tidak seberapa luas. Dari pagar, ada taman kecil di bagian kanan dan sabil atau kran air minum gratis untuk para musafir dan jemaah masjid.
Sampai saat ini masjidnya masih difungsikan untuk shalat berjamaah. Siang itu banyak pekerja proyek yang ikut jemaah shalat Dzuhur.
Posisi makam ada di ruangan sebelah kanan yang dibatasi pintu gerbang kecil berhias pahatan bait puisinya di atas.
Makamnya dibatasi teralis kayu yang tingginya hampir menyentuh atap, khas makam para ulama dan sultan di Mesir.
Aroma wangi buhur menguar begitu memasuki ruangan. Beberapa peziarah nampak terpekur dan memanjatkan doa.
Saya termenung lama, bait-bait hikmah ulama yang jasadnya kini terbaring di hadapan saya ini telah lebih dari tujuh ratus tahun lalu dituliskannya, namun getarannya masih terasa menghujam sukma hingga hari ini.
“Ilāhī, anā al-jāhilu fi ilmī, fa kayfa lā akūnu jahūlan fi jahlī.”
-Tuhanku, aku adalah hamba yang bodoh dalam pengetahuanku. Lalu, bagaimana aku tidak menjadi orang yang sangat bodoh dalam hal-hal tidak kuketahui-.[ind]