TAHAP kemarahan adalah tahapan kedua saat duka cita yang akan dialami oleh siapapun. Konselor Keluarga Cahyadi Takariawan menjelaskan mengenai tahapan ini.
Kita kembali pada contoh kejadian seorang istri kehilangan suami yang sangat dicintai, lantaran Covid-19.
Perempuan itu mengalami kehilangan, atau kedukaan, atau situasi krisis. Sangat berat kehilangan orang yang begitu dicintai.
Pada tahap pertama, ia mengalami denial atau penolakan. Setelah semakin menyadari bahwa suaminya benar-benar sudah meninggal, bahkan sudah selesai pemakaman, respon berikutnya adalah marah (anger).
Kemarahan yang dialami oleh orang yang mengalami kedukaan, bisa terekspresikan dalam berbagai bentuk.
Pada contoh perempuan tersebut, mungkin ia segera menyalahkan diri sendiri, atau menyalahkan orang lain yang dianggap bertanggung jawab atas kematian suaminya.
“Ini semua salahku. Andai saja aku tidak menyuruh ia bekerja keluar rumah, mungkin akan selamat dari Covid,“ ini contoh kemarahan dengan menyalahkan diri sendiri.
Baca Juga: Tahap Melewati Krisis dan Duka Cita
Melewati Tahap Kemarahan saat Duka Cita
“Ini semua gara-gara pihak Rumah Sakit yang sangat lamban memberikan pertolongan. Harusnya pasien Covidd seperti itu diutamakan,” ini contoh kemarahan dengan menyalahkan orang lain.
“Saya akan tuntut pihak manajemen Rumah Sakit. Ini jelas-jelas kesalahan,“ ini contoh kemarahan disertai tuntutan.
“Saya akan viralkan di medsos, kelalaian Rumah Sakit yang menyebabkan suami saya meninggal dunia“.
Dalam kondisi anger ini, seseorang tidak bisa menerima nasihat. Baginya, nasihat adalah sebentuk pengadilan (judgement) yang membuatnya menjadi lebih tidak nyaman.
Misalnya, ketika seorang teman mencoba menasihati, “Sudahlah Bu, yang sabar… Ikhlaskan saja, toh semua sudah terlanjur terjadi“. Nasihat baik seperti dianggap sebagai penghinaan.
“Apa kamu kira rela suamimu mati telantar seperti itu? Enak saja kamu bilang sabar sabar…“
Pada contoh lain, seseorang yang divonis menderita kanker ganas stadium 4. Bentuk denial adalah tidak percaya hasil laboratorium. Setelah ia sadar bahwa hasil lab benar, ia akan mengalami anger.
Kemarahan bisa terjadi kepada diri sendiri, bahkan marah kepada Tuhan.
“Mengapa aku bisa kena kanker? Hidup ini tidak adil. Aku tidak pernah mabuk, tidak pernah maksiat, mengapa bisa kena penyakit ganas ini?”
“Mengapa penyakit ini bisa terjadi padaku? Mengapa tidak diberikan saja kepada orang-orang rusak itu”.
Reaksi fisik yang biasa terjadi pada tahap kedua ini antara lain wajah merah, denyut nadi semakin cepat, gelisah berkepanjangan, susah tidur dan tangan mengepal.
Sebagaimana tahap pertama, tahap kedua ini bisa terjadi hanya dalam beberapa menit saja, namun bisa pula berlanjut sampai beberapa tahun.
Tergantung seberat apa kedukaan atau krisis yang dihadapi, dan sekuat apa pribadi yang mengalami.[ind]