SEORANG bertanya kepada Ustaz Wido Supraha, MS.I tentang penggunaan kateter dan hubungannya dengan shalat, “Ustaz kalau pasien yang sedang dirawat dipasang alat kateter untuk bak/bab, bagaimana hukumnya bila ia shalat?”
Lalu Ustaz Wido Supraha memberikan jawaban sebagai berikut:
Tindakan medis memasang alat kateter sebenarnya memiliki banyak tujuan sementara seperti tujuan analisis atau diagnosa, observasi, terapi atau tindakan alternatif.
Dengan demikian, ragam tujuan ini menegaskan kondisi pasien yang sedang darurat, dan tindakan ini memiliki alasan syar’i yang cukup kuat dan harus dilakukan oleh dokter sebagai ahli dalam bidang medis.
Baca Juga: Meringkas Shalat dengan Shalat Qashar, Berikut Ini Penjelasan dan Dalilnya
Penggunaan Kateter dan Hubungannya dengan Shalat
Allah subahanahu wa ta’ala memberikan prinsip umum dalam beribadah, seperti dalam Surat Al-Baqarah ayat 286 dan Surat At-Taghabun ayat 16:
لاَ يُكَلِّفُ اللّهُ نَفْسًا إِلاَّ وُسْعَهَا
“Allah tidak membebani satu jiwa kecuali sesuai kemampuannya.”
فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ
“Bertaqwalah kalian kepada Allah semampu kalian.”
Nabi subhanahu wa ta’ala pernah bersabda sebagaimana riwayat al-Bukhari no. 1117 dari ‘Imran bin Hushain r.a.:
١١١٧ – حَدَّثَنَا عَبۡدَانُ، عَنۡ عَبۡدِ اللهِ، عَنۡ إِبۡرَاهِيمَ بۡنِ طَهۡمَانَ قَالَ: حَدَّثَنِي الۡحُسَيۡنُ الۡمُكۡتِبُ، عَنِ ابۡنِ بُرَيۡدَةَ، عَنۡ عِمۡرَانَ بۡنِ حُصَيۡنٍ رَضِيَ اللهُ عَنۡهُ قَالَ: كَانَتۡ بِي بَوَاسِيرُ، فَسَأَلۡتُ النَّبِيَّ ﷺ عَنِ الصَّلَاةِ، فَقَالَ: (صَلِّ قَائِمًا، فَإِنۡ لَمۡ تَسۡتَطِعۡ فَقَاعِدًا، فَإِنۡ لَمۡ تَسۡتَطِعۡ فَعَلَى جَنۡبٍ).
1117. ‘Abdan telah menceritakan kepada kami, dari ‘Abdullah, dari Ibrahim bin Thahman, beliau berkata: Al-Husain Al-Muktib menceritakan kepadaku, dari Ibnu Buraidah, dari ‘Imran bin Hushain radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata:
Dulu aku terkena penyakit wasir (ambeien). Lalu aku bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenai shalat.
Maka beliau bersabda, “Shalatlah dengan berdiri. Jika engkau tidak mampu, maka shalatlah dengan duduk. Jika engkau tidak mampu, maka shalatlah dengan berbaring.”
Dampak dari penggunaan kateter adalah bahwa pasien tidak memiliki otoritas untuk menentukan kapan ia harus berkemih, dikarenakan selang yang langsung masuk ke kandung kemih, dan dengan demikian ia akan selalu membawa najis, baik di selang atau di kantung penampung urinenya.
Jika selama ini, urine tersebut ada di dalam kandung kemih, di dalam jasad kita, sekarang berpindah ke tempat sementara yang disambungkan ke jasad kita.
Jika posisi kateter itu dianggap sebagai pengganti kantung kemih dan tidak ada kebocoran setetes pun dalam penggunaannya, hakikatnya ia sedang memindahkan urine dari dalam jasad ke luar jasadnya, namun masih tersambung dengan bagian dalam jasadnya.
Hal ini masih bisa dimaknai sebagai kondisi yang tidak berhadats, selama hadats tersebut tidak mengalami kebocoran dari seluruh sambungannya.
Meskipun, bisa juga dianggap ia sedang membawa najis karena posisi kantung kateter yang berada di luar jasad.
Namun begitu, jika dalam prosesnya memungkinkan keluarnya urine dari beberapa titik sambungannya, berarti ia sedang dalam kondisi berhadats, dan hadats ini berlangsung terus menerus.
Hal ini dapat disamakan dengan kondisi dalam kehidupan nyata yakni seperti seorang wanita yang mengalami istihadhah (keluar darah terus menerus) atau salisil baul (menetes urine terus menerus).
Dalam kondisi ini, disebutkan dalam Hasyiyatul Jamal ‘alal Minhaj juz 1, halaman 242:
ويعفى عن قليل سلس البول في الثوب والعصابة بالنسبة لتلك الصلاة خاصة
“…Dan dimaafkan najis yang sedikit pada salisil baul di pakaian atau anggota tubuh, merujuk pada kondisi shalat yang demikian…”
Ibn Qudamah (1147-1223 M) mengatakan:
وكذلك يجوز الجمع للمستحاضة ولمن به سلس البول ومن في معناهما لما روينا من الحديث
Demikian pula dibolehkan bagi wanita mustahadhah, atau orang yang punya penyakit beser dan yang sejenis dengannya untuk melakukan jamak, berdasarkan hadis yang kami bawakan.
Ketika manusia kehilangan kendali dari proses berkemihnya, maka hal maksimal yang bisa dilakukannya adalah bersuci setiap kali akan melakukan shalat fardhu, dan membersihkan semaksimal mungkin najis yang terlihat mata.
Kemudian, jika pemanfaatan sementara dari kateter urine ini dianggap sebagai najis yang tidak dimaafkan, namun karena ia harus tetap melaksanakan shalat, maka shalatnya masuk dalam kategori untuk menghormati waktu (ash-shalah li hurmah al-waqt).
Artinya, ia tetap shalat untuk menghormati waktu yang telah masuk, namun disarankan ia tetap mengulanginya kembali saat sudah sembuh. Berkata Imam an-Nawawi dalam al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab, Juz 3 halaman 136 (Beirut: Dar al-Fikr):
فَإِذَا كَانَ عَلىَ بَدَنِهِ نَجَاسَةٌ غَيْرُ مَعْفُوٍّ عَنْهَا وَعَجَزَ عَنْ إِزَالَتِهَا وَجَبَ اَنْ يُصَلِّيَ بِحَالِهِ لِحُرْمَةِ الْوَقْتِ
“…Jika di badannya terdapat najis yang tidak dapat dima’fu, dengan kondisi tersebut untuk lihurmat waqti...”
Maka, sebelum shalat, jika dimungkinkan agar dapat mengosongkan kateter dan membersihkan area sekitarnya.
Kemudian, berwudhu sesuai kemampuan dan kondisi yang memungkinkan semaksimal mungkin yang dibolehkan. Ia pun boleh menjamak shalatnya sebagaimana pendapat sebagian ulama seperti Ibn Qudamah.
Demikian dalam masalah ini secara ringkas, wallaahu a’lam.