PERJALANAN menuntut ilmu merupakan peninggalan peradaban Islam dan hal baru dalam sejarah peradaban manusia. Belum pernah ada yang menyamainya dari umat-umat sebelumnya.
Ilmuwan-ilmuwan pada peradaban Yunani bahkan menjadi olok-olok orang awan. Tidak ada penghargaan terhadap ilmu pada kaum mereka.
Berbeda dengan itu, peradaban Islam sangat memerhatikan perkembangan ilmu. Sejak turunnya ayat, “Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama.” (QS. Fathir:28), ribuan anak dari peradaban Islam bergerak untuk menuntut ilmu.
Bahkan perjalanan para ilmuwan dalam peradaban Islam menjadi sumber inspirasi bagi generasi selanjutnya.
Baca Juga: Kisah-Kisah Perjalanan Jauh dalam Mencari Ilmu
Perjalanan Menuntut Ilmu bersama Ayah Bunda
Dalam peradaban Islam, para orangtua sangat memerhatikan pendidikan putra-putri mereka. Mereka mengarahkan anak-anaknya untuk menuntut ilmu sejak kecil.
Sudah menjadi tradisi para orangtua mengirim anak-anak mereka ke pusat-pusat ilmu yang terkadang jauh dari rumah mereka.
Hal yang menakjubkan dari semua itu adalah peran ayah. Para ayah pada masa keemasan peradaban Islam turut serta bersama anak-anak mereka keluar untuk menuntut ilmu.
Ubadah bin al Walid bin Ubadah bin Ash Shamit bercerita tentang ayahnya, “Aku keluar bersama ayah menuntut ilmu dari orang yang masih hidup dari kalangan orang-orang Anshor sebelum mereka wafat. Orang yang kami temui adalah Abu Yasar, salah seorang sahabat Nabi.”
Diceritakan bahwa Amirul Mukminin, Sulaiman bin Abdul malik bepergian menuju Atha’ bin Abi Rabah bersama anaknya.
Mereka duduk di depannya yang ketika itu sedang shalat. Ketika dia berpaling, selesai shalat, orang-orang masih terus bertanya tentang manasik haji.
Sulaiman membawa anaknya di atas bahunya di antara orang-orang yang bertanya itu. Sulaiman berkata kepada anaknya, “Berdirilah.” Lalu ia berdiri. Sulaiman berkata kepada anaknya, “Anakku, jangan berdiam diri (tinggal di rumah) dalam menuntut ilmu.”
Begitu juga dengan khalifah kaum muslimin Harun Ar Rasyid juga membawa kedua anaknya, Amin dan Ma’mun untuk mendengarkan kitab Al Muwatha Imam malik di Madinah Al Munawarah.
Kita juga tidak melupakan peran penting para bunda dalam kehidupan para ulama besar. Mari kita simak perjalanan Imam Bukhari, salah seorang imam ahli hadits.
Imam Bukhari tumbuh sebagai seorang anak yatim di bawah pemeliharaan ibundanya. Ibunda Imam Bukhari mendidiknya dengan sebaik-baik pendidikan.
Berusaha keras untuk membiayai pendidikannya dan tidak henti-henti mengiringinya dengan doa.
Begitu juga dengan ibunda Imam Syafii. Ketika Imam syafii berusia dua tahun, ibundanya membawanya dari Gaza ke Makkah.
Beliau ingin anaknya mendapat ilmu dari sumbernya agar dia bisa berinteraksi dan memfasihkan bahasanya.
Ibunda Imam Syafii bekerja dengan keras untuk membiayai pendidikan anak semata wayangnya itu. Kesuksesan Imam Syafii tidak lepas dari peran ibundanya yang mulia itu.
Yang perlu digaris bawahi dari kesungguhan para penuntut ilmu pada peradaban Islam ini, mereka mempunyai tujuan yang besar.
Jika kita pelajari perjalanan sejarah peradaban Islam, kita mendapati betapa agung dan unggulnya peradaban Islam di tangan mereka.
Merekalah para penemu hebat di semua bidang kehidupan. Mulai dari hadits, tafsir qur’an hingga kedokteran dan sains. Bahkan tidak jarang dalam diri satu ilmuwan Islam mempunyai banyak kemampuan.
Masa kejayaan peradaban Islam ini menjadi sebuah pekerjaan rumah bagi kita muslim selanjutnya. Seperti ada sebuah tanggung jawab untuk mengembalikan kejayaan peradaban Islam.
Dengan mempelajari kebiasaan-kebiasaan muslim dahulu yang berhasil melahirkan generasi unggul, Ayah Bunda bisa menerapkannya untuk mendidik ananda.
Semoga kita menjadi bagian dari orang-orang yang berusaha meninggikan peradaban Islam. [Maya Agustiana/Cms]