CLEAN eating merupakan pola makan yang diterapkan orang tua untuk membuat anak-anak memiliki kebiasaan sehat sedini mungkin.
Pola makan sehat clean eating memang memperhatikan keseimbangan kandungan pada makanan seperti mengurangi asupan makanan yang diproses dan menambahkan asupan makanan utuh.
Beberapa pola makan sehat clean eating bisa sangat ekstrem dengan mengurangi gluten, atau makanan utuh seperti biji-bijian serta produk susu dan olahannya, sekaligus menambahkan dalam mengonsumsi “makanan super” untuk meningkatkan kesehatan. Ternyata, pola makan sehat ini tidak saja berisiko kekurangan asupan kalori, tetapi juga berpotensi kekurang gizi, serta defisiensi vitamin dan mineral.
Gluten adalah suatu protein yang terdapat dalam biji-bijian seperti gandum, gandum hitam, dan jelai (barley), sering kali menjadi sasaran utama bagi pola makan clean eating.
Karena beberapa orang memiliki tubuh yang bereaksi peradangan terhadap gluten. Berbagai organisasi kesehatan dan gizi terkemuka sedunia justru merekomendasikan produk biji-bijian atau sereal sebagai basis pola makan yang sehat.
Contohnya, Badan Kesehatan Publik Inggris, Akademi Nutrisi dan Diet, dan Kementerian Pertanian Amerika Serikat.
Baca Juga: Mengenal Metode Clean Eating dan Manfaatnya bagi Kesehatan
Clean Eating Bisa Sebabkan Anak Kehilangan Nutrisi
Sereal juga termasuk makanan pokok dalam diet di kawasan Mediterania dan mengandung karbohidrat yang diperlukan tubuh serta merupakan bahan bakar utama bagi otot dan otak bayi, balita, dan anak-anak.
Jika mereka dijauhkan dari karbohidrat, pertumbuhan mereka bisa melambat. Selain menyarankan menghindari gluten, clean eating juga memiliki anggapan bahwa karbohidrat itu berbeda-beda, meski molekulnya sama.
Beberapa orang percaya bahwa gula rafinasi merupakan racun perusak kesehatan. Sementara, orang tua justru mengonsumsi makanan dengan kandungan gula yang sama tingginya seperti soft drink.
Orang tua juga menganggap kue yang menggunakan sirup agave, madu, atau gula kelapa (untuk menggantikan gula rafinasi) sebagai alternatif untuk hidup sehat.
Beberapa lainnya juga menganjurkan menghindari produk susu dan olahannya, yang jelas merupakan sumber kalsium alami yang efisien.
Secangkir susu atau yogurt, atau selapis keju, dapat mengandung 300-400 mg kalsium, sementara seporsi makanan non-susu lainnya tidak sampai 100 mg (kecuali ikan kecil yang dimakan bersama tulangnya).
Orang dewasa rata-rata memerlukan sekitar 1.000 mg kalsium tiap hari. Anak-anak yang masih dalam masa pertumbuhan perlu lebih banyak lagi.
Remaja, misalnya, memerlukan 1.300 mg kalsium sehari. Jika pola makan tidak dirancang dengan benar, diet non-susu dapat memperlambat pertumbuhan anak serta mengurangi kekuatan tulang mereka.
Pada saat yang bersamaan, pemberian “makanan super” seperti kubis, ubi bit, dan biji chia, belum tentu cocok bagi anak yang masih kecil.
Kubis dan ubi bit secara alamiah mengandung nitrat yang tinggi, dan dapat bersifat racun bagi bayi. Sedangkan biji chia berpotensi membuat sakit perut.
Penerapan pola makan sehat seharusnya tidak hanya mempromosikan makanan yang menunjang kesehatan fisik, tapi juga perilaku yang menunjang hubungan lebih baik dengan makanan.
Pola makan clean eating semestinya tidak boleh melupakan bahwa makanan lebih dari sekadar bahan bakar bagi tubuh. Makanan adalah sesuatu yang tercipta dari berabad kebudayaan yang dinikmati orang.
Pada akhirnya, membentuk kebiasaan pola makan sehat pada anak bukan menyoal “kotor” atau “bersih”, melainkan mengajari anak menikmati makanan bergizi, dan menyadari komposisi diet yang seimbang. [Wnd/ind/thecnvrstn]