KISAH apel Abu Hanifah ini diterjemahkan oleh K.H. Aunur Rafiq Saleh Tamhid, Lc. dari “Zad al-Murabbin”, karya Ibrahim Badr Syihab al-Khalidi.
Suatu hari, salah seorang yang sholeh bernama Tsabit bin Ibrahim berjalan di kawasan kebun dalam keadaan lapar.
Di tengan perjalanan, ia melewati aliran air kecil yang tengah membawa sebutir apel yang jatuh dari salah satu pohon di kebun terdekat, lalu ia mengambil dan memakannya.
Kemudian ia sadar bahwa apel itu bukan miliknya dan tidak halal baginya.
Kemudian ia menemui penjaga kebun dan berkata kepadanya: Saya telah memakan apel dari kebunmu yang dibawa oleh aliran air, apakah kamu mau memaafkanku?
Penjaga kebun: Apel itu bukan milikku, karena kebun ini bukan milikku. Kebun ini milik tuanku, dia tinggal di rumahnya yang berjarak tempuh sehari semalam dari tempat ini.
Tsabit bin Ibrahim: Saya harus menemuinya sekalipun harus menempuh perjalanan jauh, karena saya tidak boleh memakan sesuatu tanpa izin pemiliknya.
Apalagi Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bersabda: “Siapa yang dagingnya tumbuh dari sesuatu yang haram maka api neraka lebih layak baginya”.
Setelah menempuh perjalanan dengan berjalan kaki, akhirnya ia sampai di tempat tujuan dan mengetuk pintu rumah pemilik kebun.
Setelah pintu dibuka, ia mengucap salam kepadanya dan berkata: Wahai tuanku, saya telah memakan apel yang jatuh dari pohon yang ada di kebunmu.
Saya mendapatinya di luar kebun setelah terbawa aliran air. Apakah engkau mau menghalalkan apel tersebut untukku?
Setelah mengamatinya, pemilik kebun berkata: Saya tidak menghalalkannya untukmu.
Baca Juga: Kisah Petugas Kebersihan yang Terhormat
Apel Abu Hanifah
Tsabit bin Ibrahim: Kalau begitu, juallah apel itu kepadaku.
Pemilik kebun: Saya tidak mau menjualnya kepadamu.
Tsabit bin Ibrahim: Subhanallah! Kalau begitu, apa yang engkau inginkan dariku?
Pemilik kebun (setelah melihat ketakwaan dan kesholehannya): Kecuali kamu mau menikahi anak perempuanku.
Tsabit bin Ibrahim: Dengan senang hati.
Pemilik kebun: Tetapi anak perempuanku buta, bisu, tuli dan lumpuh.
Mendengar hal ini, Tsabit bin Ibrahim terkejut dan berfikir lama kemudian berkata di dalam hati: Apakah ini istri yang cocok buatku, dan karena hal ini pula, ia tidak mau menghalalkan apelnya untukku?
Pemilik kebun: Tanpa syarat ini, saya tidak akan memaafkanmu.
Tsabit bin Ibrahim: Saya terima lamarannya. Saya akan menerima pernikahannya dan saya akan berniaga bersama Allah Rabbul alamin melalui pernikahan ini.
Saya akan berkhidmah kepadanya dan dengan demikian saya telah menghapuskan dosa memakan apel tanpa izin pemiliknya.
Kemudian bapak wanita tersebut memanggil dua orang saksi, lalu keduanya menyaksikan akad pernikahannya.
Setelah itu, pemilik kebun membawa anak perempuannya dan dimasukkan ke dalam kamarnya. Tsabit bin Ibrahim pun bersiap untuk masuk menemuinya.
Ketika Tsabit masuk ke dalam kamar dan mengucapkan salam kepadanya, wanita itu menjawab salamnya dan bangkit lalu meletakkan tangannya di tangan Tsabit bin Ibrahim, sehingga membuat Tsabit bin Ibrahim berkata di dalam hati:
Apa ini? Dia menjawab salam! Jadi, dia tidak bisu. Dia mendengar salam, tidak tuli. Dia juga berdiri, tidak lumpuh.
Dia mengulurkan tangannya ke tanganku, tidak buta?! Lalu kenapa bapaknya menyampaikan kepadaku bahwa dia buta, bisu, tuli, dan lumpuh?
Baca Juga: Kisah Imam Ahmad bin Hambal Mencari Ilmu
Kemudian Tsabit menanyakan hal tersebut kepada wanita yang telah menjadi istrinya ini, lalu dia menjawab: Bapakku benar.
Tsabit: Tetapi saya tidak melihat semua yang dikatakannya.
Istrinya: Bapakku mengatakan aku buta, karena kedua mataku tidak pernah melihat sesuatu yang diharamkan Allah. Jadi, saya buta terhadap hal-hal yang haram.
Kedua telingaku tuli dari segala apa yang tidak diridhai Allah. Saya lumpuh, karena kedua kakiku tidak pernah membawaku ke tempat yang dimurkai Allah.
Karena itu semua, saya bisu, sebab lisanku tidak pernah bergerak kecuali dengan dzikrullah.
Bapakku selalu menyebutku seperti lebah yang tidak pernah hinggap kecuali di atas bunga yang paling indah dan mengambil sari patinya lalu menghasilkan madu.
Tsabit bin Ibrahim berkata: Kemudian saya memandangi wajahnya yang terlihat sangat cantik seperti bulan purnama.
Kemudian Tsabit hidup bersamanya dan dikaruniai anak yang kemudian ilmu dan kesholehannya memenuhi seantero bumi. Anak itu adalah Imam Abu Hanifah an-Nukman radhiyallahu ‘anhu.
Lihat: Anisul Mukminin, 110.[ind]
Sumber: https://t.me/robbanimediatama