BIASANYA, petugas kebersihan atau Cleaning Service bagi sebagian masyarakat dipandang sebelah mata dan cenderung jarang tersorot dan diperhatikan.
Mereka bahkan sering dianggap remeh, padahal, bisa saja seorang pelayan kebersihan itu jauh lebih hebat, berilmu dari kita.
Maka, jangan pernah melihat seseorang dari kulitnya. Seperti yang diceritakan oleh Rahmat Nasor, Mahasiswa Semester 8 Fakultas Syariah Universitas Islam Madinah berikut ini.
Dalam unggahannya di Fanpage Di Kota Nabi pada 2015, ia menuliskan kisah tentang petugas kebersihan masjid kampusnya yang baru. Namanya Abu Sajid.
Beda, itulah kesan pertama yang saya tangkap dari Abu Sajid, petugas kebersihan masjid kampus yang baru.
Jika para pekerja mamanggil kami mahasiswa dengan istilah sadiq – artinya kawan dan akhirnya kami memakai istilah sadiq untuk para pekerja – dia memanggil saya dengan kata akhi.
Gaya bicaranya pun berbeda dengan pekerja-pekerja lain.
Apabila para pekerja biasa menggunakan bahasa sadiq (bahasa arab – bangla mode), Abu Sajid memakai bahasa arab fushah seperti layaknya kami, mahasiswa.
Terkadang, bahkan, dia menyelipkan nukilan-nukilan almutanabbi dalam percakapan kami.
Ketakjuban saya bertambah ketika dia mengutarakan bait syair yang setelah saya cari di Google, ternyata itu merupakan qosidah dari Imam Syafii yang berbunyi:
Aku mencintai orang-orang saleh. Meski aku bukan dari mereka, aku berharap, dengan mencintai mereka, aku nanti mendapatkan syafaat.
Dan aku membenci orang yang maksiat adalah dagangannya, meski dagangan kami sama…
Baca Juga: Tukang Sampah dan Petugas Kebersihan
Kisah Petugas Kebersihan yang Terhormat
Akhirnya karena penasaran, saya bertanya dari mana asalnya.
“India,” jawab Abu Sajid.
“Karla?” tebak saya sok tahu seperti biasanya.
Dia menjawab, “Bukan, kamu tahu kitab ini atau kitab itu?” (menyebut judul kitab terkenal).
“Punya Syekh Shofiyurrahman dan Abu Hasan Annadawy?” jawab saya balik bertanya.
“Yam saya satu daerah dengan mereka dan saya sempat belajar di salah satu jamiah di India,” jawabnya menghilangkan rasa penasaran saya.
Terkadang, kita sering terkecoh dengan penampilan luar seseorang.
Baca Juga: Kisah Kejujuran Imam Syafii
Jangankan saya atau kamu, Imam Abu Hanifah pernah pamit kepada murid-muridnya untuk menyelonjorkan kakinya karena sakit pada lututnya.
Namun, beliau urungkan gara-gara datang seorang berjubah lengkap dengan sorbannya sebagaimana seorang ulama besar.
Sang imam pun menahan rasa sakitnya demi menghormati pria bersorban tersebut.
Pada sesi tanya jawab, sang pria berjubah bertanya kepada Abu Hanifah dengan serius:
“Wahai Imam, kapankah seseorang yang berpuasa diperbolehkan untuk berbuka?”
Abu Hanifah menjawab dengan hati-hati pertanyaan yang terlihat mudah namun penuh jebakan itu.
“Seorang yang berpuasa berbuka ketika matahari terbenam.”
“Kalau matahari belum terbenam, kapankah seseorang boleh berbuka puasa?” tanya pria bersorban untuk kedua kalinya.
Mendengar pertanyaan tersebut Abu Hanifah mengatakan perkataan yang cukup terkenal.
“Sekarang Abu Hanifah bisa menyelonjorkan kakinya.”
Di lain kesempatan, setelah menyelesaikan manasik haji, Abu Hanifah pergi ke tukang cukur untuk tahallul.
Beliau bertanya kepada tukang cukur rambut tersebut:
“Berapa ongkos mencukur rambut?”
“Ini adalah ibadah, dan ibadah tidak mensyaratkan apa pun. Duduklah!”
Abu Hanifah pun duduk dan membelakangi kiblat.
Tukang cukur berkata: “Hadapkan wajahmu ke arah kiblat!”
Abu Hanifah pun duduk menghadap kiblat dan memberikan kepalanya sebelah kiri untuk dicukur terlebih dahulu.
Tukang cukur kembali berkata: “Putar kepalamu ke arah kanan.”
Maka beliau pun memutar kepalanya ke arah kanan.
Berkali-kali mendapat teguran sang imam pun diam saja.
Akhirnya, tukang cukur itu berkata lagi: “Bacalah takbir (Allahu akbar)!”
Kemudian beliau terus membaca takbir sampai si tukang cukur selesai mencukur.
Ketika beliau berdiri dia berkata: “Mau ke mana kamu?”
Abu Hanifah menjawab: “Aku ingin meneruskan perjalananku.”
Dia berkata: “Shalatlah dua rakaat dulu, setelah itu pergilah.”
Akhirnya, sang imam pun bertanya, “Dari mana kamu mengetahui segala hal yang kau perintahkan kepadaku?”
Tukang cukur itu menjawab: “Aku melihat Atho bin Abi Rabah melakukannya dan aku mempraktikkannya kepada siapa saja yang ingin mencukur rambutnya”.
Benar, banyak sekali di luar sana orang-orang yang sebagaimana disabdakan nabi:
“Bisa saja orang yang rambutnya kusut, diusir dari pintu-pintu, akan tetapi kalau ia bersumpah atas nama Allah, niscaya Allah tunaikan.” (H.R Muslim)
Berkata Ibnu Sa’di rahimahulloh:
“Sebagian manusia banyak pakaiannya, sedikit pahalanya. Di bumi dielu-elukan, di langit dicampakkan. Dan ada sebagian manusia tidak punya pakaian, namun banyak pahalanya. Di bumi dia dicampakkan, di langit dia dielu-elukan.”
MaasyaAllah, semoga kisah tentang petugas kebersihan yang terhormat ini menginspirasi kita agar senantiasa santun kepada orang lain dan tidak menilai seseorang dari penampilannya.[ind/jwt]