PERDEBATAN pelik menuju kemerdekaan Indonesia dalam memutuskan dasar negara di antara tokoh-tokoh dalam BPUPKI terbagi menjadi dua kubu.
Kubu yang mengusulkan bahwa dasar negara ini sebaiknya adalah Islam, dan kubu yang lain memutuskan supaya dasar negara ini adalah kebangsaan atau nasional.
Dari kubu Islam, telah dijelaskan dalam artikel sebelumnya , sedangkan dari kubu kebangsaan salah satunya diusulkan oleh Mhamman Yamin.
Dasar negara kebangsaan atau nasional yang ia ajukan mengacu pada para pemikiran barat.
Perdebatan Pelik Menuju Kemerdekaan Indonesia di antara Para Tokoh Bangsa (Bag.2)
Yang lainnya adalah Mohammad Hatta yang memberikan bantahan terhadap ide pembentukan negara Indonesia berdasarkan Islam.
Didukung pula oleh Prof. Dr. Mr. Soepomo dalam pidatonya, ia mengatakan:
“Oleh anggota yang terhormat Tuan Moh. Hatta telah diuraikan dengan panjang lebar, bahwa dalam negara persatuan di Indonesia hendaknya urusan negara dipisahkan dari urusan agama.
Memang di sini terlihat ada dua faham, ialah faham dari anggota-anggota ahli agama, yang menganjurkan supaya Indonesia didirikan sebagai negara Islam, dan anjuran lain, sebagai telah dianjurkan oleh Tuan Moh. Hatta, ialah negara persatuan nasional yang memisahkan urusan negara dan urusan Islam.”
Perdebatan panjangan antara kubu Islam dan kubu kebangsaan ini tidak urung selesai hingga 1 Juni 1945.
Soekarno juga telah merayu para tokoh dari kubu Islam di BPUPKI supaya mau berkompromi, hingga dibentuklah Panitia Sembilan yang bertugas merumuskan dasar pendirian negara Indonesia.
Sembilan tokoh itu adalah Ir. Soekarno, Drs. Mohammad Hatta, Mr Ahmad Soebardjo, Abikusno Tjokrosujoso, Prof. Abdul Kahar Muzakir, KH. Wahid Hasyim, Mr. A.A. Maramis, H. Agus Salim, Mr. Mohammad Yamin.
Dari terbentuknya Panitia Sembilan itu lahirlah Piagam Djakarta sebagai rumusan dari konsensus yang mewadai semua golongan.
Bagi umat Islam, keberuntungan dari terbentungnya Piagam Djakarta ada pada kalimat “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya.”
Namun keberuntungan itu tidak bertahan lama, tokoh-tokoh dari kubu Islam harus menanggung kekecewaan dari keputusan dihapuskannya sila pertama pancasila dalam Piagam Jakarta, 22 Juni 1945 yaitu “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya.”
Dikutip dari Republika.co.id, semua berawal dari ungkapan Mohammad Hatta tentang adanya informasi dari seorang opsir Jepang.
Si Opsir Jepang, yang hingga kini tidak pernah diketahui namanya itu, konon mengatakan bahwa golongan Kristen dari Indonesia Timur tidak setuju dengan adanya tujuh kalimat inti dalam Piagam Jakarta.
Jika tujuh kalimat itu diterapkan, konon, mereka khawatir akan terjadi diskriminasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. “Mereka lebih suka berdiri di luar republik,” katanya.
Padahal, dalam bukunya, Ahmad Mansyur Suryanegara sempat mengutip keterangan Deliar Noer, sebagai berikut:
“Menurut Deliar Noer, dari keterangan A Kahar Moezakkir, sebenarnya AA Maramis walaupun dari perwakilan Kristen menyetujui 200 persen terhadap Preambule atau Piagam Djakarta.
Persetujuan ini terjadi karena Ketoehanan tidak dituliskan dengan Jang Maha Esa. Jadi tidak bertentangan dengan keyakinan Trinitas ajaran Kristen.
Sedangkan Ketoehanan dengan kewajiban mendjalankan Sjariat Islam bagi pemeloek-pemeloeknja, diberlakukan untuk umat Islam saja. Tidak untuk seluruh bangsa Indonesia. Artinya umat Kristen dan Katolik tidak terkena Sjariat Islam.”
Dari sanalah kemudian tokoh-tokoh dari kubu Islam akhirnya harus berkompromi lagi atas ketersediaan mereka untuk menghilangkan tujuh kata dalam Piagam Djakarta. [Ln]