FAKIR ada di bawah miskin. Hari ini ada makanan, esok entah gimana. Namun begitu, biarlah keadaan itu sebagai rahasia pribadi.
Fakir dan miskin itu nyaris tak berbeda. Keadaan keduanya seperti anak-anak yang sedang main layang-layang. Kalau angin sedikit, ia ‘miskin’. Kalau angin nyaris tak ada, ia menjadi ‘fakir’.
Masalahnya, ada atau tidaknya angin sulit diprediksi. Begitu pun antara fakir dan miskin. Meskipun keadaan miskin terlihat sedikit lebih ‘aman’. Tapi fluktuasinya kadang sama saja seperti fakir.
Para sahabat Nabi radhiyallahum ajma’in, umumnya lebih banyak yang miskin daripada yang kaya. Tapi dari yang banyak itu, sedikit yang menjadikan kemiskinannya terlihat dari luar.
Hal ini Allah subhanahu wata’ala abadikan dalam firman-Nya di Surah Al-Baqarah ayat 273.
“Orang yang tidak tahu menyangka mereka (orang-orang fakir) itu adalah orang-orang yang berkecukupan karena mereka ta’affuf (menahan diri dari meminta-minta kepada manusia).”
Para sahabat yang fakir itu berusaha tampil normal. Mereka mengenakan busana yang pantas, tidak mengeluh, dan tetap bersedekah layaknya orang yang mampu.
Kisah tentang Abu Thalhah akhirnya Allah sebut dalam Al-Qur’an karena semangatnya untuk bersedekah meskipun ia tak mampu. Hal ini ada dalam Surah Al-Hasyr ayat 9.
Ia bersedia menjamu tamu Rasulullah (Muhajirin) meskipun ia sangat miskin. Sang tamu diajaknya singgah ke rumahnya untuk dijamu makan.
Istri beliau bingung, bagaimana menjamu tamu sementara makanan yang ada hanya jatah untuk anak-anak. Beliau pun meminta istrinya untuk menidurkan anak-anak.
Lalu, bagaimana dengan mereka berdua? Bukankah menjamu tamu yang baik berarti juga ikut makan bersama?
Karena keadaannya malam, Abu Thalhah mematikan lampu rumahnya saat tamu berada di rumahnya. Mereka pun tampak sedang makan bersama, padahal hanya tamu yang sebenarnya makan.
Para sahabat bukan sekadar menyembunyikan kefakiran mereka, tapi juga menunjukkan ke orang lain bahwa mereka sanggup seperti orang-orang yang mampu.
Ini bukan lantaran mereka ingin dipuji. Bukan juga ingin eksis sebagai orang yang memiliki gengsi. Bukan itu. Melainkan karena ingin meraih pahala istimewa dari sedekah meskipun dengan cara yang susah payah.
Kini bagaimana dengan dunia kita saat ini? Sebagian orang bukan sekadar tidak menyembunyikan kefakiran mereka, bahkan memanipulasi untuk mengeruk keuntungan.
Tentu hal itu jauh dari akhlak Islam. Dan jauh pula dari apa yang biasa kita lakukan.
Tapi, tentang menyembunyikan kefakiran itu yang rasanya sulit dilakukan. Mungkin ada perasaan ingin mengumbar apa adanya, agar ada yang tergerak untuk membantu.
Sekali ini dilakukan, maka akan terbentuk dalam hati bahwa cara itu yang paling jitu. Dan selanjutnya akan diulang dan diulang. Padahal, cara yang Islami adalah dengan berdoa dan ikhtiar. Bukan meminta-minta, meski dengan cara halus.
Sembunyikan kefakiran diri, agar Allah dan orang di sekitar memuliakan kita. Bersabar dan berikhtiarlah karena selalu ada jalan untuk mereka yang bermujahadah. [Mh]