MENYENANGKAN orang lain karena Allah Subhanahu wa taala berbeda dengan People Pleaser, yaitu orang yang selalu ingin menyenangkan orang lain karena takut dikucilkan atau tidak bisa menolak.
Dikutip dari Fakultas Psikologi Mercubuana @fpsimercubuana, istilah People Pleaser merujuk pada orang yang kesulitan menolak permintaan orang lain padahal sebenarnya tidak bersedia.
Beberapa tanda seorang People Pleaser yaitu antara lain sebagai berikut.
1. Sangat ingin disukai oleh orang lain dan rela melakukan apapun
2. Takut dianggap jahat atau egois ketika menolak ajakan orang lain
3. Merasa bersalah ketika mengatakan ‘tidak’ pada orang lain
4. Mengabaikan kebutuhan diri sendiri demi kebutuhan orang lain
5. Selalu meminta maaf atas hal-hal yang sebenarnya tidak perlu
Menurut Dosen Psikologi Universitas Mercu Buana Hifizah Nur, S.Psi., M.Ed, sebenarnya menyenangkan hati orang lain itu berpahala dan baik juga untuk diri kita.
Namun ternyata, lanjut Hifizah, sesuatu yang berlebihan itu akan menjadi kurang baik, termasuk berlebihan dalam menyenangkan hati orang lain hingga mengorbankan kebahagiaan kita sendiri.
“Bedanya orang yang tulus ingin menyenangkan hati orang lain dengan people pleaser adalah niatnya. Kalau tulus, niat awalnya karena ibadah, hubungannya antara diri pribadi dengan Allah Subhanahu wa taala,” kata Psikolog yang akrab disapa Fifi ini, Jumat (10/6/2022).
Baca Juga: Apa Itu People Pleaser dan Cara Mengatasinya
Menyenangkan Orang Lain karena Allah Bukan People Pleaser
Hal yang menjadi pembatas antara People Pleaser dan orang yang senang membantu orang lain adalah aturan dari Allah.
“Batasannya adalah aturan dari Allah, bahwa Allah tidak akan memberikan beban kepada kita di luar kesanggupan kita,” jelas Fifi kepada ChanelMuslim.com.
Jika kamu sanggup untuk menolong orang tersebut tanpa mengabaikan kebahagiaan diri dan orang lain, tolonglah orang tersebut, lanjut Fifi.
“Kalau bisa kita tolong, maka kita akan berusaha menolong orang itu semampu kita tanpa mengabaikan kebahagiaan pribadi dan orang-orang yang kita cintai,” tambahnya.
Berbeda dengan people pleaser yang membantu orang agar orang tersebut menyukai kita.
“Niatnya untuk menyenangkan hati orang lain, supaya orang suka dengan kita, jadi person to person, mungkin kalau dalam bahasa agamanya adalah riya,” kata peraih Master of Education dari Jepang itu.
Penyebab orang menjadi People Pleaser, lanjut Fifi, adalah tidak ingin dibenci orang, juga ada rasa kurang percaya diri sehingga perilaku menolongnya berlebihan serta mengabaikan kebutuhan diri dan keluarganya.
Fifi menerangkan, sama halnya dengan meminta maaf.
“Tentang minta maaf juga sama, meminta maaf menunjukkan kebesaran hati seseorang untuk mengakui kesalahannya kepada orang yang ia zalimi atau saat ada salah,” jelasnya.
Namun, kebiasaan untuk selalu meminta maaf tentu tidak baik dan berlebihan.
“Tapi sedikit-sedikit minta maaf padahal tidak ada kesalahan itu juga jatuhnya berlebihan, menunjukkan rasa kurang percaya diri,” katanya.
Fifi yang juga Ketua Hikari Parenting School ini menyarakan agar setiap orang berhati-hati dalam ucapakan dan tindakan sehingga tidak menyinggung perasaan orang lain.
Di sisi lain, kepada anak-anak, ada baiknya orangtua mengajarkan meminta maaf bila anak-anak melakukan kesalahan atau bermasalah dengan hubungan interpersonal dengan orang lain.
“Untuk anak-anak, kita ajarkan meminta maaf kalau melakukan kesalahan atau bila ada masalah hubungan interpersonal dengan orang lain,” tambah Fifi.
Meminta maaf juga dibolehkan bila ada sesuatu yang tidak kita sadari menyinggung hati orang lain saat bertemu atau dalam kegiatan.
“Boleh bilang mohon maaf lahir batin ya, kalau ada yang salah, ini masih dalam batas wajar,” jelasnya.
Meminta maaf juga bisa menjadi bagian dari budaya dan pola asuh.
“Misalnya kalau di Jepang itu, sedikit-sedikit orang ngomong, sumimasen (maaf) untuk sopan santun. Ini seperti unggah ungguh dalam budaya kita mungkin ya,” tandasnya.
Fifi menyimpulkan, meminta maaf kepada orang lain dan membantu orang lain boleh-boleh saja dilakukan selama tidak menimbulkan stres dan mengganggu kesehatan mental.[ind]