APA yang sedikit tapi mencukupi, lebih baik daripada banyak tapi selalu kurang. (HR. Abu Ya’la)
Banyak dan sedikit itu relatif. Tergantung dari keadaan hati seseorang. Jika tujuan hati pada akhirat, dunia akan Allah cukupkan.
Kata ‘cukupkan’ tidak berarti kaya raya. Tidak berarti semuanya serba ada. Tapi lebih kepada keadaan hati yang selalu bahagia dengan apa yang Allah berikan.
Perhatikanlah para salafus soleh. Para ulama yang hidupnya dengan sarana seadanya. Begitu pun dengan mereka yang hidup di pedesaan dengan sarana yang hanya disediakan langsung dari alam.
Mereka begitu bahagia dengan hidup seperti itu. Senyum mereka begitu mudah. Seolah jalan hidup yang berat ini tak sedikit pun ada masalah.
Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallam mengatakan, “Siapa yang akhirat menjadi tujuannya, Allah jadikan rasa kecukupan dalam hatinya. Allah kumpulkan urusan-urusan yang berceceran. Dunia pun akan mendatanginya dalam keadaan hina dan begitu mudah didapat.
“Sebaliknya, siapa yang dunia menjadi tujuannya, Allah jadikan kefakiran terpampang di matanya. Allah cerai-beraikan segala urusannya. Dan, dunia tidak sampai kepadanya kecuali apa yang ditakdirkan untuknya.” (HR. Tirmidzi dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu)
Imam Syafi’i rahimahullah pernah mengatakan, “Kalau Anda memiliki hati yang selalu puas dengan pemberian Allah, Anda adalah raja yang sesungguhnya.”
Seorang raja adalah manusia yang selalu merasa cukup, karena semuanya serba tersedia. Begitu pun dengan mereka yang hatinya selalu merasa cukup dengan pemberian Allah. Tak ada lagi yang ia inginkan dari dunia ini kecuali ridhaNya.
Jadi, kini terserah kita. Apakah mau hidup bahagia dengan dunia sekadar lewat di tapak tangan, atau terkungkung gelisah karena dunia selalu menjadi tujuan. [Mh]