“MI, temanku ngomongin Ummi.” Anakku melapor ketika sedang makan siang di luar pesantrennya di satu Ahad yang cukup panas.
“Oh yaa? Dia bilang apa?” Aku tidak mendesak untuk tahu siapa namanya dan sebetulnya tidak peduli juga apa yang dibicarakannya.
Aku hanya pay attention (memberi perhatian) pada apa yang anakku ucapkan. Maklum kan ketemu anak tidak setiap hari, jadi setiap yang dikatakan harus kuusahakan full attention. Hatta terhadap pembicaraan yang tidak menarik sekalipun.
Baca juga: Malam Tanpa Rencana, Tidak Ada yang Tahu Rencana Allah
Anakku melanjutkan dengan takut-takut, “Katanya, Umminya Zaki pelit.”
Aku terbelalak, “Oh ya? Dalam hal apa?”
“Iya, pelit pada anaknya. Masak anaknya sudah sebesar ini tidak punya laptop. Ummikan punya uangnya bukan tidak punya.”
Aku tersenyum saja, “Gunanya laptop apa?”
Akhirnya terjadilah dialog soal penting dan tidak pentingnya punya laptop. Dengan kesimpulan, Ummi tetap tidak akan belikan laptop tapi boleh main games dan akan dikirim laptop setiap pekan untuk main games dengan catatan;
1) Tanya ustaz dulu boleh nggak
2) Hanya pada hari Ahad dan bila Ummi tidak datang menjenguk
3) Hanya boleh pakai maksimal 3 jam saja
4) Semua games yang download dan Ummi lihat dulu gamesnya apa saja.
Alhasil, waktu perjumpaan Ummi dengan anak pada hari Ahad akan tersita dengan main games. Main games di hari Ahad adalah fenomena yang terlihat di Pesantren JIBBS yang sebetulnya tidak apa-apa sama sekali.
Namun akan membuat orangtua yang berkunjung berpikir, “ini anak kok main games Saja seharian. Apa ustaznya nggak ada? Ustaznya ke mana saja? Kok anak-anak dibiarkan mainan laptop seharian? Bukankah bisa main basket atau mainan interaktif lapangan lainnya daripada duduk main games saja seharian.”
Oleh karena itu, penting bagi pihak sekolah memberitahu orangtua bahwa main basket sudah hari Selasa, karate hari Rabu, renang hari Kamis dan silat hari Sabtu, jadi wajar kalau hari Ahad main games.
Main games terusss – liburan pun maunya main games.
Yang salah siapa? Kalau anak lebih cenderung main games daripada main basket di lapangan? Yang salah tentu saja saya sebagai orangtua. Karena anak saya tahu games dari lingkungan di rumah, dari kakaknya.
Dan saya ibu yang cukup sibuk waktu itu (tidak ada pembantu dan masih kuliah, karena khawatir anak main keluar rumah tanpa penjagaan). Maka saya biarkan anak saya main games dan lupa membuat aturan untuk dua jam saja atau tiga jam saja.
Jadi bukan sekolah yang salah -karena sekolah tidak pernah ajarkan anak main games-. Itu adalah kebutuhan dan pembiasaan anak yang tercipta sejak anak masih kecil dari rumah.
Hal yang membuat saya tersentak adalah ketika kami sekeluarga ke mall dan bertanya, “Anak-anak mau beli apa?”
Yang biasanya mereka berebut bilang ‘ke toko buku’ dan dengan gembiranya memboyong beberapa buku. Namun kali ini anak saya hanya minta uang sedikit saja tapi untuk beli CD games.
Dari situ saya mulai warning kesalahan besar saya dan kemudian saya jadi bersyukur anak saya masuk JIBBS yang bisa tetap main games tapi diatur harinya yaitu hari Ahad saja pukul 9-12.
Memberi perhatian kepada anak
Saya pun bersyukur di JIBBS akan ada pojok buku, sehingga anak saya bisa kembali asik baca buku. Alhamdulillah kalau sekarang ditanya, mau beli apa? Tetap buku jawabnya, dan games? Tinggal download sama teman.
Saya juga bersyukur ada peraturan nggak ada hp di JIBBS. Dan Zacki nggak boleh lagi punya hp karena pernah melanggar peraturan, hp-nya digunakan orang lain beberapa kali untuk hal yang negatif dan akibatnya Zacki sepakat tidak punya hp sampai UN selesai.
Masa remaja anak saya hanya 6 tahun, saya bertekad untuk mengiringi dengan ketat semampu yang saya mampu. Kalau bukan kita yang mengiringi maka lingkungan yang buruk yang akan mengisi.
Saya tidak bilang bahwa anak saya akan bagus atau tidak bagus dengan cara saya, tapi hanya itu yang bisa saya lakukan untuk menjaga anak dari lingkungan luar yang mencoba masuk melalui hp dan laptop di tangan anak-anak kita.
Satu lagi yang saya syukuri adalah di JIBBS sinyalnya lemot. Punya hp dan laptop, anak kita jadi anak yang paham teknologi sekaligus membuka pintu untuk pornography. Terus terang saya memilih jadi ibu yang kampungan dan pelit daripada anak saya akrab dengan pornography.
Walau itu bukan jaminan juga. Yaa, as much as I could. Sambil berdoa, “Allah menjaga anak saya, ketika saya ada di sampingnya maupun saya tak ada. Ada gadget maupun tak ada.”
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat- malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (QS. At Tahrim: 6)
Website: