SAHABAT Muslim, bulan Syawal datang, saatnya melakukan amalan puasa enam hari di bulan Syawal. Berikut tatacara dan keutamaannya dijelaskan oleh Ustaz Farid Nu’man Hasan.
ﻣﻦ ﺻﺎﻡ ﺭﻣﻀﺎﻥ ﺛﻢ ﺃﺗﺒﻌﻪ ﺳﺘﺎ ﻣﻦ ﺷﻮاﻝ، ﻛﺎﻥ ﻛﺼﻴﺎﻡ اﻟﺪﻫﺮ
Siapa yang puasa Ramadan lalu diikuti puasa enam hari Syawwal maka dia seperti puasa setahun penuh.
(HR. Muslim no. 1164, dari Abu Ayyub al Anshari)
Hukum Puasa Enam Hari di Bulan Syawal
Sunnah, ini pendapat mayoritas ulama
Imam Syafi’i, Imam Ahmad, dan Imam Daud azh Zhahiri. Serta Malikiyah, Syafi’iyah, Hambaliyah, dan Hanafiyah muta’ akhirin. (Syarh Shahih Muslim, 8/56. Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, 28/92).
Imam Abdullah bin Al Mubarak mengatakan, ini puasa yang bagus, setara dengan tiga hari tiap bulan. (Sunan At Tirmidzi no. 759)
Perbedaannya, bagi Syafi’iyah ini sunnah bagi yang puasa Ramadan atau tidak puasa Ramadan.
Bagi Hambaliyah, ini hanya sunnah bagi yang puasa Ramadan saja, jika tidak maka tidak disunnahkan. (Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, 29/93)
Makruh, ini pendapat Imam Malik dan Imam Abu Hanifah
(Syarh Shahih Muslim, 8/56)
Alasan Imam Abu Hanifah dan Imam Malik, karena khawatir orang-orang awam menganggap itu bagian dari Ramadan.
Imam Malik menambahkan belum pernah ada di Madinah orang shalih dan ulamanya melakukan itu. (Al Istidzkar, 3/379, Al Mawahib Al Jalil, 3/329, Raddul Muhtar, 8/35, Al Bada’i Ash Shana’i, 4/149)
Dalam fiqih Imam Malik, amalan penduduk Madinah adalah hujjah, tidak mungkin tradisi yang ada di Madinah yang begitu kuat jejak para sahabat nabi dikalahkan oleh satu hadis.
Oleh karena itu, Imam Abdurrahman bin Al Mahdi mengatakan:
اﻟﺴﻨﺔ اﻟﻤﺘﻘﺪﻣﺔ ﻣﻦ ﺳﻨﺔ ﺃﻫﻞ اﻟﻤﺪﻳﻨﺔ ﺧﻴﺮ ﻣﻦ اﻟﺤﺪﻳﺚ.
Kebiasaan masa lampau dari tradisi penduduk Madinah itu lebih baik daripada hadis. (Muntaqa Syarh al Muwaththa’, 1/93)
Namun, jika tidak dianggap bagian dari Ramadan tidak apa-apa. (Al Mawahib, 3/329)
Bagi Imam Abu Hanifah, makruhnya itu baik berturut-turut atau tidak. Sedangkan muridnya, Abu Yusuf, makruh jika berturut-turut, tapi jika tidak, tidak apa-apa. Berturut-turut itu menyerupai Nasrani.
Sedangkan Hanafiyah generasi belakangan mengatakan sama sekali tidak apa-apa, dan makna seperti itu telah hilang. (Raddul Muhtar, 8/35, Bahrur Raa-iq, 6/133)
Imam ash Shan’ani telah menyanggah pihak yang memakruhkan bahwasanya setelah pastinya sebuah nash (dalil) maka tidak ada hukum bagi alasan-alasan mereka itu.
Dan komentar terbaik adalah apa yang dikatakan oleh Ibnu Abdil Bar: “Sesungguhnya hadits ini belum sampai kepada Imam Malik, yakni hadis riwayat Muslim.” (Subulus Salam, 2/167)
Puasa Enam Hari Syawal, Hukum, Tata cara, dan Keutamaan
Baca Juga: Dua Hal tentang Puasa Syawal yang Perlu Kamu Ketahui
Tata cara Puasa Syawwal
Bagi Imam Abdullah bin Al Mubarak, dilakukan di awal bulan, jika dilakukan tidak berturut-turut tidak apa-apa. (Sunan At Tirmidzi No. 759)
Syafi’iyah mengatakan lebih utama di awal bulan, dan berturut-turut. Jika tidak berturut-turut tidak apa-apa dan tetap dapat keutamaan. (Syarh Shahih Muslim, 8/56)
Hambaliyah mengatakan berturut-turut atau tidak, sama saja. Yang satu tidak lebih utama atas lainnya. (Fiqhus Sunnah, 1/450)
Hanafiyah mengatakan lebih diutamakan tidak berturut-turut, tiap pekan dua hari saja. (Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, 28/93)
Jika di awal-awal bulan tidak sempat, karena masih banyak kunjungan atau dikunjungi famili dan kerabat, tidak apa-apa dia menundanya karena menghormati hidangan tuan rumah juga perintah syariat.
Keutamaan Puasa Syawwal
Sebagaimana tertera dalam haditsnya, puasa Ramadan lalu disusul enam hari Syawwal, setara dengan puasa setahun penuh (360 hari).
Sebab, 30 hari Ramadan plus enam hari Syawwal, adalah 36, sementara satu kebaikan akan dilipatkan 10 kali.
Sebagaimana hadis qudsi:
الصِّيَامُ لِي وَأَنَا أَجْزِي بِهِ وَالْحَسَنَةُ بِعَشْرِ أَمْثَالِهَا
Puasa itu untuk-Ku, dan Akulah yang akan memberikan ganjarannya, dan satu kebaikan dilipatkan menjadi sepuluh kebaikan yang semisalnya. (HR. Bukhari No. 1894)
Apalagi jika dia juga melakukan puasa tiga hari tiap bulannya selain enam hari syawwal, maka dia seolah puasa dua tahun secara penuh. (Syaikh Abdul Muhsin al ‘Abbad, Syarh Sunan Abi Daud, 13/327)
Syawwal dulu atau Qadha dulu?
Umumnya ulama mengatakan Qadha dulu, sebab:
Qadha adalah kewajiban, Syawwal adalah sunnah. Tentu kewajiban lebih didahulukan dibanding yang sunnah.
Keutamaan mendapat “puasa setahun penuh” itu bagi yang puasa Ramadan dan enam hari syawwal, artinya tuntas Ramadannya lalu enam hari syawwal.
Jika dia masih menyisakan puasa Ramadannya maka dia tidak dikatakan tuntas dan tidak mendapatkan keutamaan puasa setahun penuh itu. (Fatawa Asy Syabakah Al Islamiyyah no. 18, Fatawa Nuur ‘Alad Darb no. 191)
Tapi, bukan berarti terlarang seseorang mendahulukan Syawwal dulu. Pembahasan di atas adalah tentang keutamaan, bukan tentang boleh atau tidaknya.
Dalam Sunan At Tirmidzi, dengan sanad hasan shahih, bahwa Aisyah Radhiallahu ‘Anha melakukan qadha di bulan Sya’ban selanjutnya.
Oleh karena itu, Qadha bukanlah kewajiban yang segera, tapi kewajiban yang lapang waktunya (wujuban muwassa’ an). (Fiqhus Sunnah, 1/470)
Khusus wanita, Tidak Tuntas karena Haid
Jika seorang wanita sudah qadha, lalu dilanjutkan Syawwal, ternyata bentur dengan jadwal haidnya sehingga puasanya tidak tuntas enam hari dan bulan Syawwal pun berakhir.
Padahal dia sangat ingin menuntaskannya. Apakah dia tetap dapat keutamaannya? Semoga Allah Ta’ala tetap memberikan keutamaan tersebut berdasarkan dalil-dalil berikut:
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
من أتى فراشه وهو ينوي أن يقوم يصلي من الليل فغلبته عينه حتى يصبح كتب له ما نوى
“Barang siapa yang mendatangi kasurnya dan dia berniat untuk melaksanakan shalat malam, tapi dia tertidur hingga pagi, maka dia tetap mendapatkan apa yang diniatkannya.”
(HR. Ibnu Majah No. 1344, dari Abu Dzar. Imam Zainuddin Al ‘Iraqi mengatakan: shahih. Lihat Takhrijul Ihya’, no. 1133)
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
مَنْ هَمَّ بِحَسَنَةٍ فَلَمْ يَعْمَلْهَا كُتِبَتْ لَهُ حَسَنَةٌ
“Barang siapa yang berhasrat melakukan kebaikan lalu dia belum mengerjakannya maka dicatat baginya satu kebaikan. “ (HR. Muslim no. 130, dari Abu Hurairah )
Hadis lain:
نِيَّةُ الْمُؤْمِنِ خَيْرٌ مِنْ عَمَلِهِ
“Niat seorang mu’min lebih baik dari pada amalnya.”
(HR. Ath Thabarani dalam Al Mu’jam Al Kabir, 6/185-186, dari Sahl bin Sa’ad as Saidi. Imam Al Haitsami mengatakan:
“Rijal hadits ini mautsuqun (terpercaya), kecuali Hatim bin ‘Ibad bin Dinar Al Jursyi, saya belum melihat ada yang menyebutkan biografinya.” Lihat Majma’ Az Zawaid, 1/61)
Demikian. Wallahu a’lam.[ind]