BULAN Syawal merupakan bulan untuk menguji keistiqomahan umat Islam dalam beribadah. Puasa Syawal mempunyai banyak manfaat dan pahalanya seperti puasa sepanjang tahun.
Namun, ada dua hal yang patut kamu ketahui tentang Puasa Syawal.
Dari Tsauban, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ صَامَ سِتَّةَ أَيَّامٍ بَعْدَ الْفِطْرِ كَانَ تَمَامَ السَّنَةِ (مَنْ جَاءَ بِالْحَسَنَةِ فَلَهُ عَشْرُ أَمْثَالِهَا)
“Barang siapa berpuasa enam hari setelah hari raya Idul Fitri, maka dia seperti berpuasa setahun penuh. [Barang siapa berbuat satu kebaikan, maka baginya sepuluh kebaikan semisal].”
(HR. Ibnu Majah dan dishohihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Irwa’ul Gholil).
Hukum Puasa Syawal adalah sunnah
“Ini adalah hadits shahih yang menunjukkan bahwa berpuasa 6 hari pada Syawal adalah sunnah. Asy-Syafi’i, Ahmad dan banyak ulama terkemuka mengikutinya.
Tidaklah benar untuk menolak hadits ini dengan alasan-alasan yang dikemukakan beberapa ulama dalam memakruhkan puasa ini, seperti; khawatir orang yang tidak tahu menganggap ini bagian dari Ramadan,
atau khawatir manusia akan menganggap ini wajib, atau karena dia tidak mendengar bahwa ulama salaf biasa berpuasa dalam Syawal karena semua ini adalah perkiraan-perkiraan, yang tidak bisa digunakan untuk menolak Sunnah yang shahih.
Jika sesuatu telah diketahui, maka menjadi bukti bagi yang tidak mengetahui.” [Fataawa Al-Lajnah Ad-Daa’imah lil Buhuuts wal Ifta’, 10/389]
Baca Juga: Ganti Puasa Wajib atau Puasa Syawal Terlebih Dahulu, Ini Penjelasannya
Dua Hal tentang Puasa Syawal yang Perlu Kamu Ketahui
Hal-hal yang berkaitan dengan puasa Syawal yang patut kita ketahui adalah sebagai berikut.
1. Tidak harus dilaksanakan berurutan
“Hari-hari ini (berpuasa syawal) tidak harus dilakukan langsung setelah Ramadan.
Boleh melakukannya satu hari atau lebih setelah ‘Id, dan mereka boleh menjalankannya secara berurutan atau terpisah selama bulan Syawal, apapun yang lebih mudah bagi seseorang. … dan ini (hukumnya) tidaklah wajib, melainkan sunnah.” [Fataawa Al-Lajnah Ad-Daa’imah lil Buhuuts wal Ifta’, 10/391].
Imam An-Nawawi rahimahullah berkata: “Sahabat-sahabat kami berkata: adalah mustahab untuk berpuasa 6 hari Syawal. Dari hadis ini, mereka berkata:
Sunnah mustahabah melakukannya secara berurutan pada awal-awal Syawal, tapi jika seseorang memisahkannya atau menunda pelaksanaannya hingga akhir Syawal, ini juga diperbolehkan, karena dia masih berada pada makna umum dari hadits tersebut.
Kami tidak berbeda pendapat mengenai masalah ini dan inilah juga pendapat Ahmad dan Abu Dawud.” [Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzdzab].
Bagaimanapun juga bersegera adalah lebih baik: Berkata Musa: “Itulah mereka telah menyusul aku. Dan aku bersegera kepada-Mu, Ya Rabbi, supaya Engkau ridho kepadaku.” [QS Thoha: 84]
2. Tidak boleh dilakukan jika masih tertinggal dalam Ramadan
“Jika seseorang tertinggal beberapa hari dalam Ramadan, dia harus berpuasa terlebih dahulu, lalu baru boleh melanjutkannya dengan 6 hari puasa Syawal, karena dia tidak bisa melanjutkan puasa Ramadan dengan 6 hari puasa Syawal, kecuali dia telah menyempurnakan Ramadan-nya terlebih dahulu.”
Ada juga penjelasan dalam Mausu’ah Fiqhiyyah Kuwaitiyyah (28/92):
“Jumhur ulama dari Malikiyyah, Syafi’iyyah, Hanabilah dan ulama Hanafiyah yang muta’akhir (kontemporer) berpendapat bahwa puasa enam hari di bulan Syawal setelah puasa Ramadan itu mustahab.
Dinukil dari Abu Hanifah bahwa beliau berpendapat hukumnya makruh secara mutlak, baik jika dilaksanakan berurutan atau tidak berurutan.
Dan dinukil dari Abu Yusuf (ulama Hanafi) bahwa beliau berpendapat hukumnya makruh jika berurutan, namun boleh jika tidak berurutan.
Namun jumhur (mayoritas) ulama Hanafiyah muta’akhirin berpendapat hukumnya tidak mengapa. Ibnu Abidin (ulama Hanafi) dalam kitab At-Tajnis menukil dari kitab Al-Hidayah yang mengatakan: ‘Pendapat yang dipilih para ulama.
Hanafi muta’akhirin hukumnya tidak mengapa. Karena yang makruh adalah jika puasa Syawal berisiko dianggap sebagai perpanjangan puasa Ramadan sehingga ini tasyabbuh terhadap Nasrani. Adapun sekarang, ini sudah tidak mungkin lagi’.
Al-Kasani mengatakan: ‘Yang makruh adalah puasa di hari Id, lalu puasa lima hari setelahnya. Adapun jika di hari Id tidak puasa lalu besoknya baru puasa enam hari, ini tidak makruh, bahkan mustahab dan sunah.”[ind/Amanji/berbagaisumber]