BAGAIMANA hukum mengazankan anak yang baru lahir? Ada referensi yang bisa dibaca? Ustaz Farid Nu’man Hasan menjelaskan bahwa mengazankan bayi merupakan upaya merekamkan kalimat tauhid Laa Ilaha Illallah Muhammadurrasulullah sejak dini.
Sebab, otak bayi laksana pita kaset yang masih kosong, ia akan terisi oleh suara yang pertama kali tertangkap olehnya. Semoga hal itu menjadi arahan yang lurus bagi sang bayi, yang akan mengendalikan arah hidupnya.
Para ulama tidak sepakat dalam masalah mengazankan dan mengqomatkan bayi, sebagian mereka ada yang menyebut keduanya adalah bid’ah karena tidak ada dasarnya.
Ada pula yang mengatakan azan disyariatkan tetapi iqamah tidak, ada pula yang membolehkan dan menganjurkan azan dan iqamah sekaligus. Demikianlah, wallahu a’lam.
Adapun kami lebih cenderung mengikuti pendapat yang mengatakan bahwa azan disyariatkan, sedangkan iqamah tidak.
Sebab seluruh hadits tentang iqamah untuk bayi tak ada satu pun yang shahih atau hasan dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.
Baca Juga: Diazankan Ketika Lahir, Ditalqinkan Menjelang Wafat
Hukum Mengazankan Bayi yang Baru Lahir
Dari Abu Rafi’, dari ayahnya, ia berkata:
“Aku melihat Rasulullah azan seperti azan shalat di telinga Al hasan ketika dilahirkan oleh Fathimah.”
(HR. Abu Daud no. 5105. At Tirmidzi No. 1514, katanya: hasan shahih. Abdurrazzaq dalam Al Mushannaf No.7986, Ahmad No. 23869)
Syaikh Al Albany berkata tentang status hadits ini, “Hasan, Insya Allah!”
(Irwa’ al Ghalil, 4/400. Dia juga menghasankan dalam kitabnya yang lain, Shahih Sunan Abi Daud No. 5105 dan Shahih wa Dhaif Sunan At Tirmidzi No. 1514) Selain itu Imam Al Hakim juga menshahihkannya, namun Imam Adz Dzahabi telah mengoreksinya.
Selain itu, Al Imam Al Hafizh Yahya bin Said Al Qaththan juga menyebutkan bahwa hadits ini diriwayatkan oleh seorang rawi yang dhaif, munkar, dan mudhtharib (guncang).
(Imam Ibnul Qaththan, Bayanul Wahm wal Iham fi Kitabil Ahkam, No. 2135. 1997M-1418H. Dar Ath Thayyibah, Riyadh)
Namun, Syaikh Al Albani dalam penelitian akhirnya dia men-dhaif-kan hadits ini. Berkata Syaikh Abdul Muhsin Al ‘Abbad Al Badr Hafizhahullah:
“Syaikh Nashir (Al Albani) telah menghasankan hadits tersebut dalam sebagian kitabnya, tetapi pada akhirnya dia menarik kembali pendapat itu.
Sebab dalam isnad hadits ini terdapat seorang yang dhaif, yaitu ‘Ashim bin ‘Ubaidullah.
Beliau telah menyebutkan bahwa dalam kitab Syu’abul Iman karya Imam Al Baihaqi ada hadits dari Al Hasan yang terkait dengan azan, dan telah disebutkan: hadits tersebut (riwayat Al Baihaqi) merupakan penguat hadits ini (riwayat At Tirmidzi dari Abu Rafi’ di atas, pen).
Dan Syaikh Nashir berkata: setelah buku tersebut diterbitkan saya melihat isnad-nya ternyata ada seorang yang wadhaa’ (pemalsu hadits) dan matruk (ditinggalkan), dahulu sebelumnya hadis tersebut dianggap sebagai penguat hadits Abu Rafi’ yang ada pada kami.
Oleh karena itu, tidak benar menjadikan hadis tersebut sebagai penguat selama di dalamnya terdapat seorang yang pendusta dan matruk.
Maka kesimpulannya, hadis ini tidak memiliki syahid (penguat). Dan, jika dalam pembahasan ini tidak ada dasar kecuali hadits ini yang di isnad-nya terdapat kelemahan perawinya yaitu ‘Ashim bin ‘Ubaidullah, maka tidaklah ada satu pun yang bisa dijadikan argumen dalam masalah ini (azan untuk bayi), kecuali jika ada hadis lain yang menguatkannya, maka hal itu dimungkinkan.
Ada pun jika takwil terhadap hadis ini dan hadis lainnya yang terdapat pada Imam Al Baihaqi yang di dalamnya terdapat wadhaa’ (pemalsu) dan matruk, maka aktivitas azan pada telinga bayi tidaklah shahih, karena hadis ini (riwayat Tirmidzi dari Abu Rafi’, pen) terdapat seseorang yang lemah.
Sedangkan hadis itu (Al Baihaqi) ada yang seorang yang wadhaa’ dan matruk, maka tidaklah salah satu menjadi penguat bagi yang lainnya. Maka tidaklah benar berhukum dengan hadis ini.
Oleh karena itu, hadits ini dihukumi tidak shahih selama dengan sanad seperti ini.” (Syarh Sunan Abi Daud, No. 580)
Syaikh Syu’aib Al Arnauth juga mendhaifkan hadits ini dengan penjelasan yang panjang. (Lihat Tahqiq Musnad Ahmad No. 23869)
Jadi, pandangan yang lebih kuat adalah hadis ini adalah dhaif, sebagaimana dikatakan oleh Imam Adz Dzahabi, Imam Yahya bin Said Al Qaththan, Syaikh Syu’aib Al Arnauth, Syaikh Al Albani, dan lainnya.
Namun demikian, ada baiknya kita menyimak perkataan Syaikh Syu’aib Al Arnauth sebagai berikut:
Kami berkata: bersama kelemahan hadis dalam masalah ini, mayoritas umat dahulu dan sekarang telah mengamalkan hadis ini, hal itu seperti yang diisyaratkan oleh At Timirdzi setelah dia meriwayatkan hadis ini, dengan ucapan beliau: hadis ini diamalkan.
Dan, para ulama telah menyampaikan hal ini dalam bab-bab kitab-kitab mereka dan mereka menyunnahkannya. (Ibid)
Perkataan Imam At Tirmidzi yang dimaksud adalah:
Sebagian ulama telah berpendapat dengan hadis ini. (Sunan At Tirmidzi No. 1514)
Setelah masa Imam At Tirmidzi, banyak sekali ulama di berbagai mazhab yang mengamalkan hadits tersebut.
Di antaranya, Imam Ibnul Qayyim dalam kitab At Tuhfah-nya, bahwa azan (dan juga iqamah) untuk bayi baru dilahirkan adalah sunah.
Dalam kitabnya itu beliau menulis:
Bab keempat: Sunahnya azan di telinga kanan dan iqamah di telinga kiri.
(Lihat Tuhfatul Maudud fi Ahkamil Maulud, Hlm. 21, Cet. 1. 1983M- 1403H. Darul Kutub Al ‘Ilmiyah), lalu beliau menyebutkan beberapa hadis, termasuk hadis ini.
Sedangkan hadis tentang iqamah, adalah sebagai berikut:
“Siapa yang kelahiran anak, lalu ia mengazankannya pada telinga kanan dan iqamah pada telinga kiri, maka Ummu Shibyan (jin yang suka mengganggu anak kecil, -pent) tidak akan membahayakannya”.
(Dikeluarkan oleh Al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman (6/390) dan Ibnu Sunni dalam Amalul Yaum wal Lailah (no. 623) dan Al-Haitsami membawakannya dalam Majma’ Zawaid (4/59) dan ia berkata:
Hadis ini diriwayatkan oleh Abu Ya’la dan dalam sanadnya ada Marwan bin Salim Al-Ghifari, ia matruk (haditsnya ditinggalkan)”.
Kami katakan hadits ini diriwayatkan Abu Ya’la dengan nomor (6780).
Berkata Muhaqqiq (peneliti hadits)-nya: “Isnadnya rusak dan Yahya bin Al-Ala tertuduh memalsukan hadits”.
Nah, dari keterangan ini jelaslah bahwa hadis tentang iqamah untuk bayi tidak bisa dijadikan landasan untuk mengamalkannya, karena cacatnya yang parah. Wallahu a’lam.[ind]