“Ketika kita berbelanja, ada beberapa rumah makan yang membolehkan makan dulu sebelum bayar. Apakah transaksi seperti itu sah menurut syariah? Bagaimana tuntunan syariah terkait hal ini? Mohon penjelasan Ustadz” tanya seseorang kepada Ustaz Oni Sahroni.
Berikut ini jawaban Ustaz Oni Sahroni:
Selain makan dulu baru bayar, ada beberapa aktivitas keseharian sejenis yang dilakukan oleh sebagian masyarakat, yakni bertransaksi dan membeli barang atau jasa tanpa menyepakati harga terlebih dahulu. Padahal barang atau jasa tersebut sudah selesai digunakan atau dinikmati sebelum diketahui berapa harganya. Misalnya:
1. Pijat refleksi yang dipanggil ke rumah. Di sebagian kondisi, pijat refleksi dilakukan tanpa menyepakati berapa fee-nya. Setelah selesai barulah konsumen menanyakan, “Pak, berapa fee refleksi tadi?”
2. Driver freelance atau cabutan. Di sebagian kondisi, si A menghubungi driver freelance. Driver kemudian mengantar ke tempat tujuan sesuai permintaan. Setiap kali ditanyakan si A, “Pak, berapa fee driver?” Sontak si driver menjawab, “Terserah Bapak saja…”
3. Ojek offline atau pangkalan. Si B yang menghampiri ojek pangkalan dan minta diantar ke tujuan tertentu itu langsung naik dan diantar. Setelah sampai ke tujuan, ia bertanya berapa biaya atau fee-nya, kemudian membayar.
Dari contoh-contoh tersebut, jika dikaitkan dengan kaidah jual beli, apakah transaksi itu sah? Apakah memenuhi kriteria harga, walaupun tidak diketahui dan disepakati, atau termasuk dalam kategori gharar (ketidakjelasan dalam transaksi sehingga tidak terpenuhi ketentuan syariat)?
Baca Juga: Agar Terhindar Dari Gharar, Begini Cara Jual Beli Hewan Qurban
Hukum Makan Sebelum Bayar, Apakah Termasuk Gharar?
Dibolehkan jika nominal harga diketahui dan disepakati.
Sesungguhnya jika itu terjadi dalam transaksi bisnis dengan akad atau ijab qabul yang sudah dilakukan, maka;
1. Dibolehkan jika nominal harga diketahui dan disepakati atau harganya merujuk pada harga pasar yang jelas dan diketahui nominalnya oleh keduanya dan disepakati.
Seperti makan di resto dengan menu yang berlabel (disebutkan harganya) atau makan di resto/rumah makan yang sudah tertulis daftar harganya atau bisa diakses informasinya.
Atau makan di resto dengan menu, walaupun tidak disebutkan, tetapi sudah umum diketahui harganya.
2. Tidak dibolehkan bertransaksi, makan dulu tanpa diketahui olehnya berapa harganya dan tanpa disepakati berapa nilainya. Serta tanpa rujukan harga atau kelaziman yang berlaku.
Di antara alternatif solusi yang sesuai dengan ketentuan akad dan adab adalah
1. Jika sudah terjadi, sepakati ulang agar masing-masing pihak ridha. Sebaik-baiknya para pihak adalah mereka yang itsar (mendahulukan kepentingan lain) dan tanazul ‘anil haq serta merelakan haknya.
2. Jika transaksinya belum terjadi, maka sepakati terlebih dahulu sebelum bertransaksi. Jika transaksinya di resto yang bertarif, maka tidak ada isu karena harga sudah tercantum sebagai bentuk penawaran yang dilakukan oleh penjual.
Akan tetapi jika di transaksi lain yang tidak bertarif, maka ditanyakan berapa harganya. Jika sudah ditanyakan, kemudian si penjual menyampaikan terserah bapak/ibu, maka sampaikan nominalnya sebagai bentuk usulan penawaran.
Kesimpulan tersebut sesuai dengan beberapa ketentuan dalam fikih akad, tuntunan hadis, dan Standar Syariah Internasional AAOIFI, yaitu:
(1) Dalam transaksi jual beli baik barang ataupun harganya itu harus diketahui dan disepakati. Jika seseorang makan di restoran, maka harus disepakati berapa harganya dan komponen makanan yang dikonsumsi.
(2) Ketentuan tersebut agar para pihak terpenuhi haknya. Saat harga ditentukan, maka hak penjual berupa nilai uang tertentu itu jelas adanya. Juga menghindari ketidakpastian yang dapat menjadi sumber cacat ridha.
Karena dapat terjadi uang yang diberikan tanpa diberitahukan sebelumnya itu mungkin lebih kecil dari harapan atau ekspektasi penjual.
(3) Ketidakpastian tersebut harus dihindari dan dimitigasi karena jual beli dengan harga yang tidak disepakati itu bagian dari gharar sebagai transaksi yang dilarang karena merugikan tersebut.
Sebagaimana hadis Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Rasulullah melarang jual beli (yang mengandung) gharar.” (HR Muslim).
Sebagaimana yang dijelaskan dalam Standar Syariah Internasional AAOIFI No 31 tentang Gharar; sub gharar yang terjadi dalam harga atau fee.
Di antara contoh penerapannya adalah penjualan tanpa menyebutkan harga atau harga diserahkan kepada para pihak atau pihak ketiga.
Seperti menjual mata uang yang ada di dompet atau membeli dengan mata uang tertentu tanpa menjelaskan jenis mata uangnya. Ketidakjelasan (gharar) tersebut itu merusak jual beli. (Standar Syariah Internasional AAOIFI No 31 tentang Gharar).
(4) Sebagaimana juga dijelaskan dalam standar Syariah Internasional No 31 tentang Gharar yang menjelaskan beberapa transaksi di mana harga tidak disebutkan tetapi dibolehkan karena ketidakpastian masih dalam batas toleransi.
Sedangkan beberapa transaksi jual beli dengan harga yang ada unsur gharar tetapi masih ditolerir (diperbolehkan) seperti menjual sesuatu tanpa disebutkan harga, tetapi harganya merujuk kepada harga pasar (dan diketahui harga pasarnya berapa).
Atau merujuk kepada harga terakhir di hari transaksi tersebut atau merujuk kepada harga transaksi yang dilakukan di pasar pada saat itu.
Atau terjadi dalam bai’ al-istijrar, yaitu pembeli mengambil barang dari suplier secara rutin dengan mu’athah walaupun harganya ditentukan setelah diambil/dikonsumsi dengan merujuk kepada harga pasar atau harga yang bisa dilakukan oleh para pembeli dan penjual saat itu.
Atau merujuk kepada indeks atau mu’ashir atau jual beli dengan harga satuan dari satu paket yang dilihatnya tetapi tidak diketahui satu per satunya ataupun harga totalnya. Seperti menjual biji-bijian, jika dijual per kg sekian.
Atau menyewa taksi dengan argo, di mana besarannya belum diketahui kecuali sampai pada tempat/destinasi atau menyewa sesuatu dengan upah sejenis atau upah yang berubah-ubah merujuk pada indeks tertentu dalam kondisi ini ditolerir dan tidak merusak transaksi. (Standar Syariah Internasional AAOIFI No 31 tentang Gharar).
Wallahu a’lam..