ChanelMuslim.com – Ciri cinta sejati selalu memberi dengan sadar. Meskipun yang terjadi mengurangi dengan terpaksa. Bukan sebaliknya, memberi tanpa sadar dan mengurangi dengan rencana.
Semua suami istri pasti mendamba cinta sejati di antara mereka. Senang bersama. Susah pun bersama. Ada yang baik disyukuri. Ada yang buruk disabari.
Prinsipnya, dalam keadaan apa pun: susah atau senang, keadaan yang baik atau buruk; cinta sejati membingkai semua itu tetap dalam satu kepastian: tetap cinta dan cinta yang menetap.
Baca Juga: Ciri Cinta Sejati: Tajamnya Bahasa Isyarat
Tak ada yang bisa memisahkan menyatunya cinta itu. Kecuali, kematian atau hal lain yang tentu sama-sama tidak diinginkan. Jaminan itulah yang bisa diraih dari cinta sejati. Dan tak ada kenyamanan lain dari hubungan itu kecuali jaminan selalu bersama.
Godaan Poligami
Adakalanya, hidup susah membatasi peluang godaan. Termasuk godaan untuk poligami. Boro-boro mau tambah istri, persediaan beras saja sering keburu habis sebelum uang tersedia lagi. Boro-boro kepikiran poligami, buat bayar listrik saja comot sana, comot sini.
Kalau fakta di lapangan memang jauh dari memungkinkan, maka poligami pun menjadi hal yang tak lagi menarik. Apa pun dalilnya. Dan, apa pun godaannya.
Namun, mungkin lain lagi ceritanya jika uang menjadi serba ada. Seolah, semua kenikmatan dunia sudah di genggaman. Rumah memadai, mobil memadai, dan tabungan pun jauh dari titik nol. Kecuali, tambah istri.
Soal tambah istri inilah yang kemudian menjadi wacana baru yang kerap datang dan pergi. Datang ketika godaan itu nyaris tak terbendung. Dan pergi ketika nyali tiba-tiba menyusut saat membayangkan sosok istri.
Dalil-dalil dalam pikiran pun membuka segala peluang. Bukankah para Nabi berpoligami? Bukankah banyak orang soleh punya lebih satu istri? Bukankah pahala akan jauh lebih banyak peluang dengan lebih satu istri dari cuma dia seorang?
Cinta Sejati versus Poligami
Pertanyaan mendasar pun muncul: apakah bertentangan antara cinta sejati dengan poligami? Bukankah poligami tidak berhubungan dengan soal cinta sejati.
Karena cinta sejati sepertinya bisa dibangun secara paralel atau satu subjek dengan objek yang berbeda dalam waktu bersamaan. Mungkinkah?
Pertanyaan ini sepertinya sudah tertera dalam Surah Annisa tentang bolehnya poligami. Bahwa, soal cinta tidak mungkin bisa dibagi rata, dibagi sama. Pasti, ada prosentasenya. Misalnya, yang nomor satu 40 persen, dan yang kesekian lebih dari itu.
Dan, ini mungkin manusiawi. Karena manusia selalu suka dengan yang lebih baru. Lebih segar. Lebih muda. Dan lebih-lebih lain yang ditafsirkan secara subjektif.
Masalahnya, apa yang kurang dari cinta sejati selama ini jika ujungnya harus tambah yang baru?
Dengan mengambil pilihan nambah atau poligami, itu sama dengan sebuah kesimpulan bahwa cinta sejati selama ini tidak utuh seratus persen. Masih ada bolongnya.
Buat pihak istri, pilihan poligami secara sepihak itu menunjukkan bahwa cinta sejati selama ini tak lebih dari basa-basi. Karena yang namanya cinta sejati itu bukan soal mendapatkan apa, tapi mengorbankan apa.
Artinya, cinta sejati bukan memberikan semangat untuk menerima, melainkan memberi. Dan itulah yang namanya pengorbanan. Berkorban untuk selalu bersama.
Berkorban untuk Cinta Sejati
Berkorban untuk menerima apa pun keadaannya, walau waktu dan keadaan tak lagi seperti dulu. Dan bicara soal pengorbanan, pihak istri tak perlu lagi ditanya tentang besar dan banyaknya pengorbanan.
Kan Allah subhanahu wata’ala membolehkan, kenapa istri melarang? Jawabannya mungkin sederhana. Allah subhanahu wata’ala membolehkan karena demi maslahat dan tidak ada pilihan lain kecuali poligami.
Jadi, bukan sebuah keutamaan atau fadhilah. Tapi sebuah jalan kemaslahatan yang menjadi pilihan terbaik buat bahtera rumah tangga karena sebuah keadaan.
Seperti, istri pertama meninggal dunia. Atau, ada penyakit yang menghalangi hubungan intim antara keduanya. Dan seterusnya.
Itulah mungkin, wallahu a’lam bishowab, kenapa syariah poligami turun setelah wafatnya istri pertama Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, Khadijah radhiyallahu ‘anha.
Karena cinta Nabi dengan Khadijah nyaris tak tertandingkan dengan siapa pun. Dan, hal inilah yang pernah terlontar dari Aisyah radhiyallahu ‘anha sebagai ungkapan cemburu terhadap Khadijah yang terus disebut-sebut Nabi meski ia sudah meninggal dunia.
Wajar jika ada istri yang berseloroh tentang “sunnah” poligami.
“Kalau memang benar-benar ingin mengikuti sunnah Nabi apa adanya dalam poligami, silakan tunggu saya mati dulu, baru boleh berpoligami. Karena Nabi berpoligami setelah Khadijah meninggal dunia.”
Cinta sejati itu mestinya berwujud sederhana. Sakinah: betah selalu berdua selamanya. Mawaddah: saling cinta berdua selamanya. Dan rahmah: saling sayang berdua selamanya. [Mh]