BUKU Mecca, I’m Coming ini ditulis oleh Salamun Ali Mafaz. Buku setebal 200 halaman ini mengisahkan perjalanan naik haji yang tak semudah membalikkan telapak tangan.
Pada mulanya hanyalah sekadar cerita. Tetapi bermula dari kenyataan yang ada; terlalu marak travel haji dan umrah yang banyak melakukan penipuan kepada calon jamaahnya.
Pada mulanya, calon jamaah haji atau umroh itu sangat yakin pada iming-iming dan bujuk rayu bahwa mereka akan dengan cepat diberangkatkan dengan biaya murah.
Sebut saja, sepanjang tahun 2017-2018 lalu, misalnya (1) First Travel yang melakukan penipuan kepada 63.314 orang calon umroh. Jamaah yang dirugikan mencapai Rp905,3 miliar.
(2) Abu Tours telah melakukan penipuan terhadap 86.720 calon jamaah haji, dengan kerugian jamaahnya mencapai Rp1,8 triliun.
(3) Solusi Balad Lumampah (SBL) hanya memberangkatkan 17.383 orang dari 30.237 orang yang mendaftar.
(4) Hannien Tour telah melakukan penipuan terhadap 1.800 orang calon jamaahnya, dengan kerugian mencapai Rp37,8 miliar.
Mudahnya calon jamaah tertipu oleh biro perjalanan haji dan umroh itu karena terlalu percaya terhadap berbagai produk jasa yang ditawarkan.
Ditopang ketidakhati-hatian dalam memilih, dan hasrat yang besar dalam memenuhi rukun Islam kelima. ketiga hal ini telah menyebabkan pengelola berbagai biro perjalanan dengan mudah mengadakan penipuan.
Lebih-lebih, perjalanan ibadah haji dan umroh merupakan perjalanan yang membutuhkan pembiayaan yang sangat besar sehingga melihat peredaran uang yang berputar dalam urusan ibadah ini, telah membutakan hati para pengelola biro perjalanan untuk bagaimana caranya memperkaya diri dari peredaran uang ibadah haji dan umroh tersebut.
Penipuan berkedok agama ini pulalah yang telah diceritakan oleh Salamun Ali Mafaz dalam novel ini.
Jelas sekali, apa yang diceritakannya adalah kejadian nyata yang beberapa tahun terakhir melanda calon jamaah haji dan umroh seluruh Indonesia.
Diceritakan dengan kocak dan rancak, namun tetap penuh kemirisan dan ironis; sebab pelakunya juga beragama Islam.
Baca Juga: Yang Berangkat dan Tinggal di Ibadah Haji
Resensi Buku Mecca I am Coming, Kisah Naik Haji yang Tak Semudah Membalikkan Telapak Tangan
Tersebutlah sebuah desa bernama Timpik. Di desa itu, bergelar haji merupakan cerminan status sosial seseorang.
Karenanya, tidak heran, banyak yang ingin menunaikan ibadah haji agar status sosialnya terangkat.
Berangkat dari keinginan mengubah status sosial itulah, masyarakat di desa Timpik berupaya semaksimal mungkin bekerja, menabung atau menjual lahan demi bisa berangkat ke Baitullah.
Contohnya adalah si Eddy. Dia mendapat amanah dari mendiang ayahnya agar suatu saat bisa berhaji juga seperti ayahnya.
Si ayah yang wafat di Makkah telah menekadkan hati Eddy agar suatu saat dapat menunaikan ibadah haji.
Agar amanah itu terlaksana, dia membuka bengkel motor dengan dua karyawan yang menopang kegiatan perbengkelan itu (hlm. 19).
Namun, Eddy justru ibarat makan buah simalakama, sebab di saat ia mempersiapkan diri menabung untuk berhaji, Eni, sang pujaan hatinya selalu memohon agar Eddy dengan jantan meminangnya.
Desakan Eni itu disebabkan adanya Pietoyo, seorang pemuda anak konglomerat di desa itu yang mau meminang Eni.
Keadaan bertambah menyusahkan Eni karena ternak telur ayam yang dilakukan oleh orang tuanya, Haji Soleh, semua biaya merupakan hasil pinjaman uang dari Pietoyo.
Eddy jelas sangat bingung. Jika ia turuti keinginan Eni agar segera meminang dan menikah, amanah agar segera haji dari almarhum ayahnya tidak terpenuhi.
Jika ia nekad naik haji, dapat dipastikan ia akan kehilangan si pujaan hatinya. Galau berat yang dialami Eddy rupanya hanya ada satu cara, sebagaimana keinginan Haji Soleh, agar naik haji terlebih dahulu.
Siapa yang tercepat antara Eddy dan Pietoyo naik haji, maka di antara yang tercepatlah yang akan mendapat Eni.
Rupanya, sayembara Haji Soleh membuat Pietoyo yang kaya raya menjadi senang, karena ia merasa dengan uang melimpah akan lebih cepat berangkat ke Masjidil Haram.
Bukankah ada jalur haji plus. Berbusung dadalah ia karena merasa ada di atas angin.
Di lain pihak, Eddy yang miskin dan hanya punya usaha bengkel, sangat tertekan dengan keinginan Haji Soleh.
Namun karena ia lebih berpendidikan daripada Pietoyo, ia lebih mudah mengakses informasi dan mencari biro perjalanan haji yang dengan cepat bisa memberangkatkannya tahun itu juga.
Sementara, Pietoyo walau telah mendaftar lewat jalur khusus masih tetap menunggu antrian pemberangkatan jalur haji plus.
Eddy mendaftar lewat biro perjalanan haji dan umroh bernama Second Travel Amri (hlm. 76).
Betapa terkejutnya Pietoyo mendapatkan saingannya berangkat haji tahun itu juga. Eddy diarak dengan iringan pengantar yang luar biasa banyak. Eni bersyukur secara mendalam.
Haji Soleh gusar luar biasa sebab diancam oleh Pietoyo agar mengembalikan semua modal usaha peternakan ayam burasnya.
Eni tak peduli akan kegusaran sang ayah, sebab orang tuanya itu memang bermata duitan. Eni yakin, Eddy-lah pemenang sayembara jodoh itu.
Sesampai di kantor Second Travel Amri, ia berkumpul dengan ratusan calon jamaah haji dari berbagai daerah di Nusantara.
Dengan penuh keyakinan, orang-orang yang berlalu lalang itu adalah calon jamaah juga. Sang penunjuk jalan mengantarkan Eddy dan jamaah lainnya ke ruang tidur agar besok pagi setelah mau terbang tak kepayahan.
Bangun di pagi hari betapa terkejutnya Eddy. Ia hanya tinggal berdua dengan Fajrul, calon jamaah haji dari Maluku.
Keduanya bingung, mengapa tidak ada orang sama sekali. Yang ada hanya seorang petugas di lobby penginapan itu. Eddy bertanya, apakah para calon jamaah haji sudah pada berangkat.
Sang petugas hanya melongo tak paham, dan pada akhirnya petugas itu menjelaskan juga bahwa tadi malam di tempat ini adalah shooting terakhir sinetron berjudul ‘’Mecca, I’m Coming’’.
Mereka berdua menjadi loyo karena sudah tertipu.
Dan rupanya, mereka yang tertipu bukan hanya Eddy dan Fajrul. Bahkan gelar ‘haji’ pada Pak Soleh, ayah Eni, juga gelar tipuan, sebab tahun lalu, ia bersama Pak Somad, tempat Eddy dan Fajrul ditampung selama sebulan, gagal berangkat karena tertipu, namun masyarakat tak ada yang tahu.
Berbeda dengan Eddy, dia diketahui secara langsung oleh Eni pada waktu berkunjung ke Jakarta secara tiba-tiba kepergok dengan Eddy.
Pujaan hatinya itu tidak berhaji, sungguh hati Eni hancur lebur.
Baca Juga: Waktu Tunggu Antrian Haji Kian Lama
Akhir Kisah
Kehancuran hati Eni tak berlangsung lama. Setelah semuanya terbongkar, Haji Soleh yang merasa tertipu dan menipu masyarakat dengan gelar hajinya, merestui Eddy menikahi Eni.
Sebuah ending yang menawan, dan tentu sangat disukai pembaca.[ind]
Peresensi: Ahmad Muhli Junaidi
Guru Sejarah di SMA 3 Annuqayah yang saat ini Pimpinan Taman Baca Masyarakat (TBM) Keluarga Sejahtera desa Ketawang laok, Guluk-Guluk, Sumenep. Sering meresensi di media cetak antara lain: Harian Bhirawa, Harian Kabar Madur, Harian JP Radar Madura, dan media online seperti: Travesia.co.id hidayatullah.com matamadura.com.