ChanelMuslim.com – Doa agar tidak diberi beban yang tak mampu kita pikul ini merupakan rangkaian faedah dari dua ayat terakhir surat Al Baqarah yang ditulis oleh Ustaz Muhammad Abduh Tuasikal.
Baca Juga: Lakukan Terapi Doa, Kiat Sukses Mencari Pasangan
Doa agar Tidak Diberi Beban yang Tak Mampu Kita Pikul
رَبَّنَا وَلَا تُحَمِّلْنَا مَا لَا طَاقَةَ لَنَا بِهِ وَاعْفُ عَنَّا وَاغْفِرْ لَنَا وَارْحَمْنَا أَنْتَ مَوْلَانَا فَانْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِينَ
Ya Rabb kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tak sanggup kami memikulnya. Beri ma’aflah kami; ampunilah kami; dan rahmatilah kami.
Engkaulah Penolong kami, maka tolonglah kami terhadap kaum yang kafir.”
Maksudnya: Kita meminta supaya tidak diberi beban yang tidak mampu kita memikulnya. Perkara semacam itu sebenarnya kita punya pilihan.
Adapun perkara yang manusia tidak punya pilihan di dalamnya misalnya diberikan sakit dan semacamnya, jika beban tersebut menimpanya, maka ia akan diberi pahala dan akan menghapuskan dosa-dosanya yang telah lalu.
Dalam doa tersebut juga kita minta:
Wa’fu ‘anna yaitu maafkanlah atas kekurangan dalam kita menjalankan yang wajib.
Waghfirlanaa yaitu ampunilah karena kita telah terjerumus dalam perkara yang haram.
Warhamnaa yaitu rahmatilah dengan memberikan taufik untuk terus bisa istiqamah.
Tiga hal yang diminta itu berarti berharap supaya dimaafkan karena lalai dari yang wajib, supaya diampuni karena terjerumus dalam maksiat dan supaya dirahmati dengan terus diberikan keteguhan (keistiqamahan).
Kemudian di akhir doa tersebut disebutkan bahwa Allah itu mawlaa, artinya Allahlah yang mengurus urusan kita, Allahlah tempat kita kembali dan Allahlah penolong kita.
Lalu kita meminta tolong pada doa tersebut supaya dijauhkan dari penindasan orang kafir.
Faedah dari Ayat di Atas
1- Rahmat Allah begitu besar karena Allah tidaklah membebani kecuali yang manusia mampu memikulnya.
2- Dari ayat ini, para ulama membuat suatu kaidah fiqhiyyah yang begitu ma’ruf,
لاَ وَاجِبَ مَعَ العَجْزِ
“Tidak ada kewajiban ketika tidak mampu.”
Contoh:
Ketika seseorang tidak mampu bersuci dengan air karena sakit atau lumpuh atau tidak mendapati air atau khawatir sakit, bersuci tersebut beralih pada tayamum.
Kalau tidak mampu tayamum karena tidak mendapati debu atau tanah untuk bertayamum, maka ketika itu ia shalat dalam keadaan tidak berwudhu dan bertayamum karena tidak ada kewajiban kala tidak mampu.
Jika seseorang shalat sedangkan didapati najis pada pakaiannya dan tidak diperoleh pakaian pengganti, najisnya pun tidak dapat dihilangkan pada pakaian, ia tetap shalat dalam keadaan berpakaian najis seperti itu.
Shalatnya tidak perlu diulangi. Menjauhi najis ketika shalat adalah suatu kewajiban yang harus dilakukan. Namun kewajiban tersebut gugur ketika tidak mampu dipenuhi.
Ketika seseorang shalat, wajib menghadap kiblat. Ketika sakit, ia tidak mampu menghadap kiblat dan tidak ada yang mampu mengarahkan tubuhnya ke arah kiblat.
Keadaan seperti itu mengakibatkan menghadap kiblat menjadi gugur. Orang seperti itu shalat sesuai dengan keadaannya kala itu.
Ketika shalat tidak mampu dilakukan dalam keadaan berdiri, maka ketika itu boleh beralih ke posisi duduk. Jika tidak mampu duduk, maka beralih ke posisi berbaring ke sisi kanan atau kiri dengan menghadap kiblat.
Ketika ruku’ dan sujud bisa dengan isyarat kepala. Namun saat itu tidak cukup dengan isyarat jari sebagaimana diyakini sebagian orang awam.
Ketika seseorang tidak mampu membaca Al-Fatihah dan belum mengenalnya, maka gugur kewajiban membaca Al-Fatihah.
Wajib sebagai penggantinya adalah membaca dzikir dengan tahmid, takbir dan tahlil.
Jika wajib menunaikan zakat dan ketika itu tidak ada nuqud (uang tunai) dan tidak mampu membeli barang yang nanti dijadikan harta zakat, saat itu zakat tersebut boleh ditunda sampai mampu membeli barang tersebut.
Puasa Ramadan itu wajib, namun saat ini dan seterusnya tidak mampu menunaikannya karena ketidakmampuan, sebagai gantinya adalah dengan menunaikan fidyah.
Fidyah yang dikeluarkan adalah memberi makan pada orang miskin dari setiap puasa yang ditinggalkan. Jika tidak mampu menunaikan fidyah, jadilah gugur kewajiban tersebut.
Jika seseorang tidak punya kemampuan untuk berhaji, maka gugurlah kewajiban untuk berhaji.
3- Manusia berbeda-beda dalam memenuhi kewajiban. Ada yang mampu menunaikannya dan ada yang tidak mampu. Orang yang pertama menjadi wajib untuknya, berbeda dengan orang kedua.
4- Setiap orang yang beramal shalih, ia akan memperoleh balasannya. Termasuk pula seseorang mendapatkan balasan karena mengajak orang lain melakukan kebaikan karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ دَلَّ عَلَى خَيْرٍ فَلَهُ مِثْلُ أَجْرِ فَاعِلِهِ
“Siapa yang memberi petunjuk dalam kebaikan, maka ia akan mendapatkan pahala dari orang yang melakukan kebaikan tersebut.” (HR. Muslim no. 1893)
5- Setiap orang yang melakukan maksiat, maka ia akan memperoleh balasannya. Sebagaimana disebutkan dalam ayat yang lain,
لِكُلِّ امْرِئٍ مِنْهُمْ مَا اكْتَسَبَ مِنَ الْإِثْمِ
“Tiap-tiap seseorang dari mereka mendapat balasan dari dosa yang dikerjakannya.” (QS. An-Nur: 11). Baik dosa tersebut dilakukan langsung atau menjadi petunjuk pada sesuatu yang haram.
Jika menjadi petunjuk pada sesuatu yang haram, maka berarti ia mendapat bagian dari yang haram tersebut. Namun ini berbeda dengan orang yang menunjukkan pada kebaikan.
Kalau orang yang menunjukkan pada kebaikan, maka ia akan mendapatkan kebaikan yang semisal. Sedangkan orang yang mencontohkan pada kejelekan akan mendapatkan bagian dari dosa.
6- Karena dalam doa disebut ‘rabbanaa’, ini menunjukkan adanya penetapan sifat Rabb atau sifat rububiyyah bagi Allah.
Yang dimaksud meyakini sifat rububiyyah Allah adalah meyakini Allah sebagai pencipta, pemberi rezeki dan pengatur alam semesta.
7- Di antara adab doa adalah memanggil Allah dengan nama Allah yang mulia yaitu Rabb. Oleh karena itu, mayoritas doa dalam Al-Qur’an dimulai dengan panggilan Rabb.
8- Orang yang lupa dan keliru (tidak punya ilmu), maka diangkat dosa dari dirinya. Namun ada beberapa kewajiban yang ketika lupa atau keliru harus di-qadha’ namun tidak disematkan dosa padanya ketika melakukannya.
Contoh:
Orang yang berwudhu, lantas ia lupa mengusap kepala, lalu tetap shalat dalam keadaan seperti itu. Saat lupa semacam itu, ia tidak berdosa walau ia berwudhu dengan wudhu yang tidak sah.
Akan tetapi, ia harus mengulangi wudhunya, juga harus mengulangi shalatnya. Jadi yang terangkat hanyalah dosanya. Namun kewajibannya tidaklah gugur.
Ada orang yang tidak ingat shalat sama sekali karena kesibukan. Ia tidak mendapatkan dosa. Namun shalat tersebut tidaklah gugur, tetap harus dikerjakan.
Jika seseorang salam sebelum sempurnanya shalat dalam keadaan lupa, maka ia tidaklah berdosa. Namun ia punya tugas untuk menyempurnakan shalat tersebut.
Jika seseorang berpuasa lalu makan dalam keadaan lupa, maka dimaafkan. Ia boleh tetap melanjutkan puasanya.
Pembahasan ini insya Allah akan bersambung pada serial keempat. Semoga bermanfaat.[ind]
Referensi:
Ahkam Al-Qur’an Al Karim. Cetakan pertama tahun 1428 H. Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin. Penerbit Madarul Wathan.
Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim. Cetakan pertama tahun 1431 H. Ibnu Katsir. Penerbit Dar Ibnul Jauzi.
Tafsir As-Sa’di. Cetakan ketiga tahun 1433 H. Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di. Penerbit Muassasah Ar Risalah.
Sumber: muslim.or.id