Hai Bund, apa kabarnya?
Pernah tersadar nggak kalau ternyata anak-anak kita, semakin besar tidak lagi satu frekuensi dengan kita. Mereka semakin sibuk dengan dunianya sendiri, sangat jauh dari refleksi seorang ibu.
Ibunya asyik kajian, anaknya asyik K-Pop-an. Ibunya gemar beraktivitas sosial, anaknya sibuk jadi gamer. Ibunya asyik berkarya, anaknya asyik ngikutin tarian ala blekpink, khusyu nonton maraton drakor, diam-diam bikin komunitas My Oppa is an Idol, Pecinta Roti Sobek.
Rame ngobrolin gaya rambutnya dan bibirnya Jimin BTS, nangis bareng karena wanna One mau bubar, nobar filmnya D.O Exo.
Baca juga : Mengasuh Anak Ketika Orangtua Sibuk Bekerja
Refleksi Seorang Ibu
Ada yang bilang, “Kenapa khawatir berlebihan, toh kita dulu waktu remaja suka tuh ngikutin NKOTB, Backstreet Boys, sampai ke one Direction.”
Saya hanya diam sambil terus mempelajari karena saya punya dua remaja yang juga bicara tentang korean things.
Awalnya saya merasa jadi alien karena sama sekali nggak kenal. Nama-nama mereka asing. Satu grup bisa belasan orang tapi kok anak-anak hafal
Saya perhatikan sambil terus dialog. Awalnya, kakak dapat dari pertemanan di SMP. Agar bisa diterima teman-temannya. Sempat takjub juga, nih bocah-bocah ngapa kayak kesirep yah.
Bahasanya nggak kenal, musiknya terlalu asing di telinga, belum lagi tariannya super enerjik mulai dari goyang ngebor, TT, sampai yolo-yolo. Nggak laki nggak cewek ikutan joged yang sama.
Saya sempat menemani kakak dan teman-temannya hunting Korean idol merchandise. Takjub lagi pas tahu ada orangtua yang rela merogoh kocek dalam-dalam hanya untuk beli lampu bohlam BTS (hihihi). Belom lagi beliin tiket konser idol korean.
Tujuan industri Pop Art Korea memang sebesar-besarnya untuk kemajuan perekonomian Korea. K-Pop style menjadi gaya hidup banyak orang.
Barang -barang dari Korea mulai dari elektronik, kosmetik sampai sendal jepit made in Korea. Dan Indonesia dengan penduduk yang banyak banget menjadi pasar yang menggiurkan.
Dan kakak cuma bisa gigit jari karena emaknya bilang, “Siap dihisab dengan benda-benda ini?” Atau “Kamu siap mati pas lagi nonton konser?” Atau “Apa manfaatnya?” “Pikiran kamu nggak jorok kan pas lagi ngobrolin kegantengan Oppa-oppa itu?” “Yang perlu dicontoh tuh, kegigihan, keuletan, kerja keras dan pengorbanan mereka untuk berkarya jangan malah ngejogrok di depan gadget buat nontonin mereka. Ini saatnya kamu mesti banyak melatih keterampilan dan mental buat masa depan.”
Begitu kakaknya berhenti nge-KPop, otomatis adiknya juga ikutan. Begitu kakaknya fokus pada hal positif, otomatis adiknya ngikut.
Hampir semua anak terpapar K-Wave. Lah emaknya aja kesirep drakor (angkat tangan). Beberapa teman mengeluh, “Aduh anak gw demen banget K-Pop.”
Saya juga pernah merasakan itu. Alhamdulillah hanya berlangsung beberapa bulan. Kami, saya dan anak-anak akhirnya banyak mencari tahu tentang perKoreaan.
Hingga akhirnya kami semua sepakat no more K-Pop di rumah. Dan Kakak berani menjadi berbeda dari teman-temannya.
Saya juga mengenalkan hal lain kepada anak-anak. Saya tidak ingin anak-anak saya menghabiskan waktunya untuk menonton “korean things” yang bikin mereka tidak produktif.
Saya bilang, selagi masih muda, jadilah produktif dan jadikan semua sebagai media pembelajaran.
Dunia itu bukan sebatas di Korea. Dan menjadi ibu bukan sekadar menemani tapi ikut bergulat dan bertarung bersama anak-anak.
Belajar bersama dan tumbuh menjadi keluarga sakinah, nyaman dan damai. Keluarga tempat semua kembali dari pertarungan untuk mengisi energi kebaikan. [MRR]