SABAR itu membawa nikmat. Terlebih sabar dalam ketakwaan.
Ada sebuah kisah menarik yang dialami Imam Ath-Thobari. Beliau adalah ulama yang hidup setelah tiga abad masa kehidupan Rasulullah dan para sahabat.
Beliau lahir di sebuah daerah di Iran saat ini dan wafat di Bagdad, Irak. Begitu banyak karya beliau, antara lain kitab tafsir, sejarah, dan lainnya.
Suatu hari, saat masih muda, beliau menunaikan ibadah haji di Mekah. Ada peristiwa unik saat itu. Yaitu, ada seorang jamaah haji yang kehilangan uang sebesar seribu dinar. Sungguh uang yang sangat banyak. Ditaksir saat ini nilainya sama dengan empat milyaran rupiah.
Orang yang kehilangan itu berasal dari Khurasan. Ia memperkenalkan dirinya saat mengumumkan ke orang banyak tentang kehilangan uangnya.
“Siapa pun yang menemukan sekantong uang sebesar seribu dinar, saya harap segera dikembalikan. Semoga Allah membalasnya dengan pahala yang berlipat,” begitu kira-kira yang ia sampaikan.
Ia berkeliling ke semua sudut keramaian di Kota Mekah. Berulang-ulang, ia sampaikan tentang kehilangan itu.
Akhirnya, ada seorang kakek yang kurus membalas pengumuman orang Khurasan itu. “Kami orang Mekah hidup dalam suasana yang keras. Penghidupan begitu sulit saat ini. Apakah tidak ada upah jika ada orang yang menemukan uang itu?” begitu kira-kira yang ditanyakan si kakek itu.
Orang Khurasan itu balik menanyakan, “Kira-kira berapa upahnya?”
“Ya mungkin sepersepuluhnya atau seratus dinar,” ucap si kakek.
“Tidak bisa. Siapa pun yang mengambil uang itu meski hanya sebagiannya akan saya adukan kepada Allah di hari pembalasan nanti di akhirat,” ucapnya.
Kakek ini pun berjalan ke suatu tempat. Ath-Thabari mengikuti si kakek. Ia curiga tentang si kakek ini.
Rupanya, si kakek pulang ke rumahnya yang sangat miskin. Di rumah itu, tinggal empat anak perempuannya, istri, ibu mertua, dan dua saudari perempuannya. Total ada sepuluh perempuan tinggal dalam tanggung jawab si kakek itu.
“Lubabah, akhirnya aku menemukan pemilik uang dinar itu,” ucap si kakek kepada istrinya.
“Apakah dia akan memberikanmu hadiah jika dikembalikan?” begitu kira-kira ucapan istri si kakek.
“Tidak. Dia justru akan mengadukan kepada Allah siapa pun yang mengambil sebagian dari uang itu,” jawab si kakek.
“Ya sudah, jangan dikembalikan. Kita lebih berhak dengan uang itu. Keadaan kita sangat fakir dan kamu sudah sangat tua untuk menanggung kami semua,” jawab istrinya.
Sebegitu fakirnya, si kakek itu harus shalat bergantian karena baju mereka sangat tidak layak untuk menutup aurat ketika shalat.
“Istriku, betapa berdosanya aku jika mengambil uang itu. Padahal, usiaku sudah 86 tahun. Tidak lama lagi, aku berjumpa dengan Allah dan akan mempertanggungjawabkan perbuatanku,” begitu kira-kira yang diucapkan sang kakek menjawab permintaan istrinya.
Keesokan harinya, si kakek menemui lagi orang Khurasan yang terus berkeliling mengumumkan tentang uangnya yang hilang.
“Hai orang Khurasan, bagaimana jika upahnya sebesar sepuluh dinar jika ada orang yang menemukannya?” tanya si kakek itu.
“Demi Allah, aku tidak akan setuju. Aku akan mengadukan hal itu kepada Allah di hari pembalasan nanti,” ungkapnya.
Dan keesokan harinya, kakek itu pun kembali lagi menemui orang Khurasan. Ia mengatakan, “Hai orang Khurasan, bagaimana jika upahnya satu dinar jika ada orang yang menemukannya?”
Jawaban orang Khurasan itu tetap tidak berubah. Ia mengancam akan mengadukan itu kepada Allah di hari pembalasan.
Akhirnya, kakek itu mengaku kalau ia telah menemukan kantong uang seribu dinar. Ia mengajak orang Khurasan ke rumahnya untuk mengambil uang itu.
Imam Thobari terus mengikuti gerak-gerik si kakek itu hingga di episode terakhir ini.
Kakek itu mengajak orang Khurasan masuk ke rumahnya yang sangat sederhana. Di dalam, ia mengajak si Khurasan menggali tanah untuk mengambil kantong uang yang disimpannya.
“Ini uang seribu dinar itu! Silakan kamu hitung apa cukup?” ucap sang kakek kepada orang Khurasan. Setelah dihitung dan cukup, orang Khurasan itu pun mendekat ke si kakek.
“Wahai kakek, uang ini sebenarnya amanah dari ayahku. Sebelum meninggal dunia, ia berwasiat untuk memberikan sepertiga dari hartanya yang tiga ribu dinar untuk diberikan kepada orang yang paling berhak di tanah suci Mekah. Dan ternyata, engkaulah yang paling berhak atas uang itu. Silakan engkau ambil semua uang seribu dinar ini,” ungkap si orang Khurasan.
Setelah dua belas tahun, Imam At-Thobari kembali lagi ke Mekah. Ia mencari tahu keadaan kakek itu dan keluarganya.
Ternyata, kakek itu sudah meninggal dunia, hanya sebulan setelah kejadian itu. Setelah itu, istri, ibu mertua, dan dua saudarinya juga meninggal dunia.
Dan menariknya, empat putri dari si kakek itu mendapatkan jodoh dengan orang-orang terkemuka di Mekah. Yaitu, dari kalangan pejabat di sana. Mereka begitu tertarik dengan kesolehan si kakek yang pernah bikin heboh dengan uang seribu dinar yang dikembalikan secara utuh. Padahal, ia dan keluarganya sangat membutuhkan.
**
Takwa itu ada batu ujinya. Salah satunya dengan uang. Dan kadang, di batu ujian inilah, takwa seseorang bisa goyah bahkan melorot.
Bersabarlah dalam ujian takwa. Memang berat. Tapi yakinlah dengan janji Allah: siapa yang bertakwa akan Allah buka pintu solusi dan akan didatangkan rezeki dari sumber yang tak terduga. [Mh]