MUKMIN yang kuat lebih baik dan lebih Allah cintai dari mukmin yang lemah. Tapi, masing-masing ada kebaikannya. (Al-Hadis)
Di abad keenam hijriyah ada seorang ulama yang bukan hanya kuat dalam ilmu. Tapi juga dalam hal fisik. Bukan sekadar mufti, tapi juga mujahid di medan pertempuran.
Ia bernama Muwaffaquddin Abu Muhammad Abdullah bin Muhammad bin Qudamah, atau biasa disebut Ibnu Qudamah rahimahullah.
Beliau lahir di Palestina pada tahun 541 hijriyah. Pada usia tujuh tahun, Ibnu Qudamah kecil mengungsi ke Suriah karena wilayah Palestina diserang oleh tentara Salib.
Meski tinggal dalam perantauan di Damaskus Suriah, Ibnu Qudamah tetap berprestasi. Di usia belia ia sudah menghafal Al-Qur’an dan belajar dengan banyak ulama di Suriah.
Pada usia 20 tahun, Ibnu Qudamah belajar ke Bagdad untuk mencari ilmu dengan tokoh-tokoh hebat di sana. Di antara mereka adalah Syaikh Abdul Qadir Al-Jilani yang terkenal hingga saat ini. Ia juga belajar dengan tokoh ulama bernama Ibnu Al-Manni.
Kurang lebih selama 13 tahun, ia menetap di Bagdad dan menimba ilmu dari para ulama-ulama hebat di sana. Setelah itu, ia pergi ke Mekah untuk berhaji.
Di Mekah, Ibnu Qudamah tidak langsung pulang ke Damaskus. Ia belajar dengan banyak ulama di sana. Baru setelah itu, ia kembali ke Damaskus dan menetap hingga akhir hayatnya di usia 80-an tahun.
Yang menarik, perjalanan keilmuan ini tidak memalingkannya dari perjalanan jihad. Pada usia 42 tahun, Ibnu Qudamah bergabung dengan Shalahuddin Al-Ayyubi. Selama beberapa tahun, ia ikut memimpin perang untuk kemenangan Baitul Maqdis di Palestina.
Berbagai keilmuan ia kuasai. Mulai dari Al-Qur’an, hadis, ushul fikih, kosmografi, nahwu, hisab, dan lainnya. Beliaulah imam besar di Damaskus saat itu.
Tinta dan darah seolah menjadi satu kesatuan yang selalu terjalin dalam perjalanan keilmuan dan jihadnya.
**
Kesolehan seseorang tak selalu identik dengan ibadah dan keilmuannya. Kesiapan dalam jihad pun menjadi bagian yang tak terpisahkan.
Salah seorang guru Imam Bukhari, Abdullah ibnu Mubarak, pernah menegur sahabatnya yang menghabiskan hidupnya hanya beri’tikaf di Masjidil Haram.
Ia menulis surat: alangkah enaknya ibadahmu. Kamu dikelilingi harum wangi, sementara kami debu-debu. Kamu berlinangan air mata, sementara kami bercucuran darah. [Mh]



