CARILAH duniamu seakan engkau akan hidup selamanya. Carilah akhiratmu seolah-olah engkau akan mati esok.
Kalimat bijak di atas bukanlah hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Melainkan sebuah nasihat bijak dari seorang ulama.
Kita tidak sedang membahas tentang sumber kalimat itu. Tapi pada isinya, pada nilai kebijakannya.
Spirit kalimat itu merupakan wujud keseimbangan antara ikhtiar untuk duniawi dan ikhtiar untuk apa yang akan diperoleh di akhirat esok.
Mungkin relevan juga dengan doa yang Allah ajarkan dalam firmanNya, “Ya Allah, anugerahkan kami kebahagiaan di dunia dan kebahagiaan di akhirat, dan selamatkan kami dari neraka.”
Dengan begitu, Islam tidak memisahkan antara kesibukan duniawi dan kesibukan untuk ukhrawi. Keduanya menyatu dalam satu paket kebahagiaan, dan terangkai dalam setiap kesibukan hidup: mengandung maslahat duniawi dan maslahat ukhrawi.
Kembali ke kalimat bijak di awal, umumnya semangat untuk mengejar dunia datang dari mereka yang enerjik. Biasanya anak-anak muda yang tenaganya masih sangat prima.
Mereka masih muda dan pandangannya selalu ke depan, bukan ke belakang. Karena anak muda tidak akan melihat apa-apa di belakangnya, kecuali masa kecil.
Sementara mereka yang tua pandangannya akan kembali ke belakang. Karena di depannya tidak terlihat apa-apa lagi, kecuali kematian.
Yang buruk adalah anak muda yang masih saja terbuai dengan masa kanak-kanak, atau orang tua yang masih asyik dengan dunia masa muda.
Kalimat bijak di atas memadukan antara semangat muda yang selalu melihat ke depan dan kehati-hatian orang tua yang introspeksi diri untuk bahagia di akhirat.
Bisakah? Rasanya memang agak sulit. Seolah-olah ingin memadukan antara gas dan rem dalam waktu yang bersamaan.
Namun, Islam begitu kaya dengan nilai-nilai ruhiyah atau spiritualitas yang menjadikan anak-anak muda menjadi seperti orang tua yang bijak.
Dan memang seperti itulah wujud dari generasi terbaik sepanjang kehidupan umat manusia. Yaitu, generasi sahabat di masa kehidupan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.
Sebagian besar mereka berusia antara dua puluhan hingga empat puluhan saat mereka hidup bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Sebuah masa yang sangat enerjik.
Namun, apakah pemandangan selanjutnya, mereka menghabiskan waktu dua puluh empat jam untuk duniawi? Kenyataan sejarah sama sekali tidak menunjukkan ke arah itu.
Generasi saat itu seperti mewakafkan seluruh kehidupan mereka untuk kemaslahatan akhirat mereka. Bukan urusan akhirat seperti yang dibayangkan umumnya: berada di masjid, dan sejenisnya.
Namun, semua urusan hidup yang mereka lakukan semata-mata untuk mendapatkan ridha Allah. Dan hal itu diniatkan untuk kebahagiaan akhirat esok.
Jadi, kalau pun mereka berbisnis, bisnis itu dimaksudkan agar bisa mendongkrak ekonomi umat, bukan untuk diri sendiri dan keluarga. Sehingga tidak heran jika mereka dengan ringan menginfakkan sebagian besar harta mereka untuk perjuangan Islam. Dan itu sebagai bekal akhirat mereka.
Sejarah mencatat, baru ada Baitul Mal atau kas negara di saat masa Kekhalifahan Umar bin Kaththab radhiyallahu ‘anhu. Sebelum itu, kas perjuangan mereka adalah kantong mereka sendiri.
Jadi, bukan soal muda dan tuanya penyikapan urusan dunia dan akhirat bisa dilakukan. Tapi sebuah kesadaran utuh bahwa hidup ini, muda atau pun tua, semata-mata untuk Allah subhanahu wata’ala. [Mh]