BIRRUL waalidain kadang tak selalu bersambut baik. Karena di situlah ujian mahalnya.
Ada sebuah kisah nyata dari Inggris beberapa tahun lalu. Kisah itu tentang seorang muslimah yang masuk Islam, sementara ibunya belum.
Berbagai cara ia lakukan untuk mengetuk pintu hati ibu yang masih tertutup rapat. Kadang ia merayu-rayu ibu. Kadang ia membuka sesi diskusi sederhana.
Tapi, ibunya tak kunjung mau memeluk Islam. Seolah ada bongkahan batu besar yang menutup cahaya hidayah menelusup masuk ke rongga hatinya.
“Ibu..oh ibu…,” bisik batinnya yang begitu ingin mengajarkan ibu mengucap dua kalimat syahadat.
Suatu hari ibunya sakit. Karena semakin parah, ibu dirawat ke rumah sakit. Putrinya yang solehah itu bergeming tetap berada di samping ibu. Menemani ibu, merawat ibu, dan merayu ibu.
Ia khawatir kalau di ujung usianya, ibunya tak kunjung mengucapkan syahadat. Ah, betapa ia akan kehilangan sesuatu yang paling mahal dari ibu tercinta.
Sakit ibunya ternyata kian parah. Ibu tak lagi bisa bicara. Bahkan, untuk sekadar merespon pun tidak.
Ia berulang kali mengajarkan ibu talqin: mengucapkan syahadat. “Laa ilaaha illallah… Muhammad rasuulullah…” bisiknya ke telinga ibu dengan lembut.
Tiba-tiba ia terpikir sesuatu: bagaimana jika ketika ibunya mengucapkan syahadat, tak ada seorang pun saksi yang menguatkan kalau ibunya sudah masuk Islam. Karena ia ingin sekali ibu dimakamkan dalam cara Islam: dikafani, dishalatkan, dan dimakamkan dengan syariat Islam.
Si muslimah ini pun menelpon lembaga Islamic Center di London. Ia meminta ada dua saksi yang hadir di ruang ibunya dirawat.
“Maaf, di sini sedang tak orang,” jawab pihak lembaga yang ditelepon. Hal itu karena hari sudah sangat malam. Sudah di luar jam kerja.
“Bagaimana kalau kau saja yang datang ke sini? Ya, datang ya!” ucapnya mendesak.
Lelaki dari lembaga Islam itu pun akhirnya tiba di ruangan si ibu itu dirawat. Ia mendapati si muslimah sedang menangis sambil terus membisikkan ibunya dengan kalimat syahadat.
Tanpa menunggu komando, si lelaki itu pun duduk di sisi lain si ibu. Ia pun ikut membisikkan kalimat syahadat.
“Ya Allah, berikanlah hidayah kepada ibuku. Sayangi kami ya Allah. Anugerahkan kami hadiahMu yang paling mahal…,” doa si muslimah sambil terus mengajarkan ibunya mengucap syahadat.
Di saat yang kritis itu, tiba-tiba ibunya terbangun. Si ibu mengangkat satu jari telunjuknya seraya mengucapkan, “Laa ilaaha illallah Muhammad Rasulullah…” Fasih dengan bahasa Arab.
Setelah itu sang ibu tertidur kembali. Tim medis memeriksa keadaan si ibu. Ternyata ia sudah menghebuskan nafasnya yang terakhir.
**
Maha Besar Allah subhanahu wata’ala. Jika saja si ibu itu mengucapkan syahadat dalam hati dengan penuh keikhlasan, Allah Maha Tahu dan akan menerima keislamannya.
Tapi, Allah menguatkan si ibu untuk mengucapkannya secara jelas. Untuk siapa? Bukan untuk Allah, tapi untuk putrinya yang tercinta. Keduanya saling memberikan hadiah yang termahal.
Bersabarlah untuk tetap berbuat baik pada ayah dan ibu. Suatu saat, Allah akan membalas kebaikan sang anak dengan rezeki yang tak terduga. [Mh]