APA saja hak dan kewajiban istri? Dengan mengetahui hal ini, rumah tangga bisa lebih tenteram karena suami dan istri mengetahui kewajiban masing-masing.
Baca Juga: Hakikat Suami Istri Membangun Keluarga
Hak dan Kewajiban Istri
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin menjawab:
Hak istri yang wajib (ditunaikan oleh suami) dan kewajiban istri (yang harus dia tunaikan terhadap suami) tidak disebutkan secara tertentu dalam syariat.
Hal ini kembali kepada kebiasaan (masyarakat setempat) berdasarkan firman Allah ‘azza wa jalla,
“Dan bergaullah dengan mereka secara patut.” (an-Nisa: 19)
“Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf.” (al-Baqarah: 228)
Jadi, apa yang menurut kebiasaan setempat adalah hak istri, maka wajib (ditunaikan oleh suami).
Sebaliknya, sesuatu yang tidak dianggap wajib oleh kebiasaan masyarakat setempat, maka tidak wajib pula (ditunaikan).
Hanya saja, ketika kebiasaan setempat menyelisihi syariat, maka syariatlah yang diambil.
Misalnya, menurut kebiasaan setempat, seorang suami tidak memerintah keluarganya mendirikan shalat dan berakhlak yang baik.
Ini adalah kebiasaan yang batil. Adapun kebiasaan masyarakat setempat yang tidak menyelisihi syariat, Allah ‘azza wa jalla mengembalikan (hukum) kepadanya, sebagaimana disebutkan oleh ayat di atas.
Para pemegang kekuasaan dalam rumah tangga wajib bertakwa kepada Allah dalam hal orang-orang yang berada di bawah kekuasaan mereka, baik laki-laki maupun perempuan, dan memberi perhatian kepada mereka.
Terkadang kita dapati seorang ayah tidak memperhatikan anak-anaknya, baik yang lelaki maupun yang perempuan.
Dia tidak pernah menanyakan keadaan anaknya, baik yang ada di rumah maupun yang pergi. Tidak pernah pula ia duduk bercengkerama bersama anak-anaknya.
Terkadang pula seorang ayah tidak berkumpul bersama anak-anak atau istrinya selama satu-dua bulan. Ini adalah kesalahan yang besar.
Kami menasihati saudara-saudara kami agar bersemangat menyatukan kembali (anggota keluarga).
Hendaknya semuanya bisa menghadiri makan siang dan makan malam bersama.
Hanya saja, kaum perempuan dari lelaki yang bukan mahram harus dipisah. Hal ini telah menjadi kebiasaan yang mungkar dan menyelisihi syariat, mereka mengumpulkan lelaki dan perempuan yang bukan mahram ketika jamuan makan. [Cms]
Durus wa Fatawa al-Haramil Makki, 3/245, asy-Syaikh Ibnu Utsaimin; diambil dari Fatawa al-Jami’ah lil Mar’ah al-Muslimah, 2/544—545
Sumber: Majalah Asy Syariah Edisi 100
T.me/forumsalafy