TAK ada yang tahu seseorang berbohong atau tidak. Kecuali, Allah subhanahu wata’ala dan orang itu sendiri.
Berbohong dilarang Islam. Bahkan ada bohong yang bisa masuk kedalam dosa besar. Yaitu, persaksian palsu.
Sayangnya, sebagian masyarakat menganggap biasa berbohong. Ada yang memang disengaja, ada yang memang menganggap sebagai hal biasa.
Contoh, kadang kita mendengar lawakan yang kisahnya hanya mengada-ada. Hal itu agar pendengar bisa tertawa.
Dalam pergaulan, kadang ada yang bercerita tentang sesuatu yang dilebih-lebihkan. Atau bahkan tidak ada faktanya sama sekali.
Begitu pun di kalangan pedagang. Para pedagang kadang terbiasa mengatakan, “Dari sananya memang sudah segitu!” Atau, “Saya sama sekali nggak ambil untung!” Dan lainnya.
Boleh jadi, ucapan ini dimaknai oleh pedagang sebagai trik jual beli. Dan begitu pun para pembelinya, mereka jarang menganggap kalau yang diucapkan si pedagang sebagai hal jujur.
Dalam dunia politik lebih parah lagi. Bahkan sebagian besar masyarakat menilai politik sebagai seni berbohong.
Allah subhanahu wata’ala melarang kita berbohong. Jika seseorang terbiasa bohong, maka Allah akan mencatatnya sebagai pembohong.
Seorang mukmin mungkin saja memiliki sifat periang. Mungkin saja memiliki sifat pendiam. Mungkin juga memiliki sifat pemarah atau keras. Tapi, mukmin tidak mungkin memiliki sifat pembohong.
Memang, ada bohong yang diperbolehkan dalam Islam. Yaitu, bohong dalam peperangan, bohong untuk mendamaikan dua pihak yang bermusuhan, dan bohong suami untuk kebaikan.
Bohong yang diperbolehkan dalam peperangan yaitu strategi, bukan bohong untuk mengkhianati perjanjian.
Bohong yang diperbolehkan untuk suami istri yaitu untuk membangun keharmonisan. Misalnya, memuji pasangan cantik atau ganteng. Meskipun faktanya mungkin tidak. Juga memuji masakan, meskipun faktanya juga tidak.
Ada jenis ‘bohong’ lain yang juga diperbolehkan. Yaitu apa yang disebut dengan tauriyah: sebuah ucapan yang benar dan bukan bohong, tapi bisa dimaknai berbeda oleh yang mendengarnya.
Misalnya, Nabi Ibrahim pernah ditanya oleh penguasa zalim tentang istrinya. Kalau ketahuan Nabi Ibrahim sebagai suami, maka akan dibunuh.
Maka Nabi Ibrahim menjawabnya, “Dia ini saudara saya.” Kata saudara yang dimaksud Nabi Ibrahim artinya saudara seiman. Meskipun si pendengar memahaminya sebagai saudara kandung.
Contoh lain, ada orang baik yang dikejar tentara zalim. Seseorang melihat ke arah mana orang baik itu pergi. Ketika ia ditanya oleh tentara zalim kemana yang dikejar itu pergi, ia pindah posisi beberapa langkah. Dan, ia pun mengatakan, “Sejak saya di sini, saya tidak melihat siapa-siapa, kecuali kalian.”
Begitu pun tentang rahasia. Meskipun kita dituntut untuk bicara jujur, tapi tidak boleh menceritakan rahasia apa adanya. Rahasia apa saja: tentang suami istri, tentang perusahaan, dan tentang organisasi.
Di luar itu semua, jangan pernah berbohong. Mungkin orang lain bisa dikelabui, tapi Allah subhanahu wata’ala Maha Tahu. [Mh]