Chanelmuslim.com – Setiap orang yang pergi pasti akan kembali. Hanya orang yang pergi menghadap Tuhannya saja yang tak kembali lagi. Meskipun bisa saja orang pergi jauh dan tak lagi kembali, namun sejatinya ia hanya melakukan keberangkatan dan bukan bepergian. Dan hal ini pun tampaknya bukan lagi masuk dalam bab bepergian. Karena orang yang pergi, ada saat kapan dia berangkat dan akan tiba waktu dia kembali.
Seseorang yang bepergian, ada sesuatu yang dia tinggalkan di saat berangkat (keluarga dan rumahnya). Dan kala pulang, seseorang akan kembali lagi kepada apa yang dia tinggalkan sebelum pergi. Sekiranya seseorang pergi dari satu kota lain, lalu di tinggal di sana dan tidak kembali lagi ke kota asalnya, maka hal ini namanya pindahan dan bukan bepergian. Kemudian, saat-saat seseorang dalam bepergiannya, itulah yang orang katakana sebagai dalam perjalanan. Sekalipun dia sedang diam atau tinggal di suatu tempat dan tidak sedang berjalan.
Itulah makanya, meskipun Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam (dan seluruh sahabat kaum Muhajirin) lahir, tumbuh, dan besar di Makkah. Kemudian beliau tinggal di Madinah, tidak ada satu pun ulama yang mengatakan bahwa keluarnya beliau dari Makkah menuju Madinah sebagai bepergian. Namun merka semua sepakat menyebutnya sebagai hijrah. Karena memang beliau tidak pulang kembali ke Makkah. Lain halnya manakala beliau masih berada di Makkah,–sebelum diutus menjadi Nabi– dan mengadakan perjalanan (Dalam rangka bergadang) ke Syam. Maka hal ini masuk dalam bab bepergian (safar). Karena beliau kembali lagi ke Makkah setelah urusanya selesai di Syam.
Selanjutnya, apabila Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam telah selesai mengadakan suatu perjalanan dan pulang kembali ke Madinah, beliau biasa membaca doa dan bertakbir setiap kali melewati datarang yang tinggi.
Ibnu Umar Radhiyallahu Anhuma menceritakan,
“Apabila Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam pulang dari perang, atau haji, atau umrah, beliau bertakbir tiga kali setiap melewati jalanan menanjak di bumi. Kemudian beliau berdoa, ‘Laa ilaaja illallaahu wahdahuu laa syariikalah. Lahu mulku wa lahul hamdu wa huwa ‘alaa kulli syay’in qadiir. Aayibuuna taa’ibuuna ‘aabiduuna saajiduuna lirabbinaa haamiduun. Shadaqallaahu wa’dah, wa nashara ‘abdah, wa hazamal ahzaaba wahdah’.” (Muttafaq Alaih)
Hadits di atas tampaknya sudah jelas maksudnya, yakni apabila Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam pulang dari bepergian, belliau biasa membaca doa di atas.
Namun, ada dua hal yang perlu dicatat. Pertama, doa ini dibaca Nabi saat dalam perjalanan pulang, bukan ketika telah sampai di rumah. Dan Kedua, beliau membaca doa ini setelah mengadakan perjalanan yang lama dan jauh. Karena perjalanan Nabi bersama para sahabat memang sangat jauh dan memakan waktu berhari-hari. Akhirnya, sekiranya perjalanna itu dekat dan tidak memakan waktu yang cukup lama, atau katakanlah tidak lebih lebih setengah hari, maka tidak mengapa jika tidak membaca doa ini. Meskipun jika membacanya tentu lebih baik.
(Sumber: 165 Kebiasaan Nabi, Abduh Zulfidar Akaha, Pustaka Al-Kautsar)