BERINFAK itu mengharap balasan dari Allah. Sayangnya, infaknya belum dengan yang terbaik.
Allah subhanahu wata’ala berfirman, “Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna) sebelum kamu menginfakkan sebagian harta yang kamu cintai. Dan apa pun yang kamu infakkan maka sesungguhnya Allah Maha mengetahui.” (QS. Ali Imran: 92)
Imam Ibnu Katsir menafsirkan bahwa ada seorang sahabat Anshar bernama Abu Thalhah. Ia merupakan salah seorang sahabat yang terkaya di Madinah. Salah satu kekayaannya yang paling ia cintai adalah kebun kurma di depan masjid yang bernama Bairuha’.
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sering masuk ke kebun itu dan meminum air di sana.
Mendengar ayat itu, Abu Thalhah radhiyallahu ‘anhu langsung menyerahkan kebun Bairuha’ kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.
“Ya Rasulullah, aku infakkan kebun ini untuk Allah,” ucapnya.
**
Bayangkan potret kita saat berinfak. Ketika akan memasukkan uang ke loket masjid misalnya, kita akan mencari uang di dompet yang nilainya paling kecil, yang paling lecek dan nggak pantes ada di dompet kita.
Begitu pun ketika akan bersedekah ke fakir miskin. Kalau di dompet kita ada beberapa lembar uang yang nilainya sama-sama kecil, kita cari yang paling jelek. Uang seperti itulah yang kita sedekahkan.
Sementara jika kita menginfakkan dengan jumlah yang besar, kita merasa ‘gatal’ untuk bercerita ke orang lain, supaya orang tahu kalau kita berinfak dengan yang baik.
Kalau kita menyadari bahwa infak kita untuk fi sabilillah, untuk Allah, untuk mendapat balasan dari Allah; kenapa dengan cara itu kita berinfak. Bagaimana mungkin hal itu bisa senilai dengan surga yang mahalnya tak terkira. [Mh]