TAAT atau bakti kepada orang tua pahalanya luar biasa. Begitu pun membangkangnya, dosanya juga luar biasa. Tapi bagaimana jika taatnya dalam maksiat kepada Allah?
Ada seorang sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang bernama Saad bin Abi Waqash radhiyallahu ‘anhu. Ia berasal dari keluarga kaya dan sekaligus ‘anak mama’.
Ibu dari Saad adalah salah seorang putri Abu Sufyan bin Umayyah: seorang penguasa Mekah saat itu.
Ibu Saad begitu gelisah ketika mendapati putera tercintanya masuk Islam. Saat itu, para pembesar Mekah begitu antipati dengan Rasulullah dan ajaran Islam.
Apa kata orang banyak jika salah seorang putera pembesar mereka ternyata masuk Islam? Begitu kira-kira yang ada di pikiran ibunya Saad.
Ketika itu, usia Saad sekitar 17 tahun. Ia merupakan seorang pemuda yang tampan, kaya, pintar, dan pandai berbisnis. Sebuah sosok yang begitu cocok untuk gelar ‘anak mama’.
Saad pun begitu mencintai ibunya. Bisa dibilang, ibunya adalah segalanya.
Namun, ketika Saad sudah masuk Islam, sementara ibunya belum, konflik ibu dan anak ini pun tak terhindarkan.
Ibunya begitu kesal. Tapi, ia tak bisa mengungkapkan kekesalan kepada buah hatinya itu. Karena itu, ia lampiaskan kekesalannya melalui aktivitas ‘bunuh diri’. Ia tidak makan dan minum selama anak kesayangannya itu tak kembali ke agama nenek moyang.
Yang dilakukan ibunya Saad ini sontak tersebar di masyarakat. Semua orang saat itu menyalahkan Saad. “Teganya anak itu pada ibunya!” Seperti itu kira-kira opini yang dipersalahkan kepada Saad.
Kadang ibunya berperilaku lebih ekstrim lagi. Ia menjemurkan diri di terik panas saat matahari menyorot begitu panasnya. Dan sebaliknya, ia tidak mau masuk ke rumah saat angin dingin menggigilkan suasana malam.
Beberapa hari hal itu berlangsung. Akankah hal itu menggoyahkan keimanan Saad?
Saad bin Abi Waqash akhirnya menghampiri ibunya. Dengan lembut, ia berujar, “Duhai ibuku. Sekiranya engkau memiliki seratus nyawa, dan engkau keluarkan satu per satu demi untuk memintaku meninggalkan Islam, aku tidak akan pernah ikuti. Silakan jika engkau masih tidak ingin makan.”
Ucapan Saad itu membuat ibunya kaget. Sungguh di luar dugaannya. Ia pun akhirnya tersadar kalau anaknya itu tidak main-main dengan agama barunya. Dan akhirnya, sang ibu pun menyerah dengan pilihan anak kesayangannya.
Hal itu akhirnya disampaikan kepada Rasulullah. Ketika menjumpai Rasulullah, Saad mendaptkan kabar dari Rasulullah bahwa sebuah ayat turun berkenaan dengan tindakannya itu.
Allah subhanahu wata’ala berfirman, “Dan Kami wajibkan kepada manusia untuk (berbuat) baik kepada kedua orang tuanya. Dan jika keduanya memaksamu untuk menyekutukan-Ku dengan sesuatu yang engkau tidak mengetahui ilmu itu, maka jangan taati mereka. Kepada-Kulah tempat kembalimu dan Aku beritahukan kepadamu atas apa yang selalu engkau perbuat.” (QS. Al-Ankabut: 8)
**
Berbakti kepada kedua orang tua memiliki nilai sangat utama dalam Islam. Bahkan, perintahnya bersusulan setelah perintah ibadah kepada Allah subhanahu wata’ala.
Namun, ketika bakti pada kedua orang tua dalam hal maksiat kepada Allah, maka ketaatan kepada Allah harus didahulukan.
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam kemaksiatan kepada Allah. Sesungguhnya ketaatan itu hanya dalam kebaikan.” (HR. Bukhari Muslim)
Namun, di luar perintah yang maksiat pada Allah itu, berbuat baik kepada kedua orang tua harus tetap dijaga dan diutamakan. [Mh]