DELAPAN dekade sudah Indonesia merdeka, namun pertanyaan mendasar masih menggema: sudahkah kita benar-benar merdeka? Dalam “Merdeka yang Hakiki: Renungan Ulama di Usia 80 Tahun Indonesia”, para ulama memaknai kemerdekaan bukan sekadar terbebas dari penjajahan fisik, melainkan kebebasan jiwa, akhlak, dan moral sebagai bangsa yang beriman dan beradab.
Tahun 2025 ini, Indonesia genap berusia 80 tahun sejak proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945. Sebuah usia yang sudah matang bagi sebuah bangsa.
Delapan dekade bukan sekadar angka, melainkan perjalanan panjang yang penuh darah, air mata, dan pengorbanan.
Kita merayakan dengan upacara, bendera, parade, dan sorak-sorai.
Namun, pertanyaan mendasar selalu layak kita ajukan: sudahkah kita benar-benar merdeka?
Apakah merdeka hanya berarti lepas dari penjajahan Belanda dan Jepang? Ataukah ada makna yang lebih dalam, makna yang menyentuh dimensi jiwa, akal, moral, dan spiritual kita?
Follow Official WhatsApp Channel chanelmuslim.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.
Sebab jika kita jujur, banyak di antara kita yang masih terjajah oleh nafsu, harta, korupsi, ketidakadilan ekonomi, hingga penjajahan gaya hidup.
Para ulama masyhur sepanjang zaman telah mengajarkan, kemerdekaan bukan hanya status politik, melainkan sebuah keadaan ruhani: bebas dari penghambaan kepada selain Allah, bebas dari nafsu, bebas dari ketidakadilan.
Di momentum HUT ke-80 Republik Indonesia, mari kita resapi kembali makna merdeka melalui kearifan mereka.
1. Merdeka dalam Cahaya Al-Qur’an dan Hadis
Al-Qur’an menegaskan bahwa kemerdekaan adalah fitrah manusia. Allah berfirman:
لَا إِكْرَاهَ فِي الدِّينِ
“Tidak ada paksaan dalam agama.” (QS. Al-Baqarah: 256).
Ayat ini menjadi dasar bahwa manusia diciptakan dengan kebebasan memilih jalan hidupnya. Tidak boleh ada paksaan, karena kemerdekaan adalah hak asasi yang Allah karuniakan.
Dalam ayat lain, Allah mengingatkan:
Merdeka yang Hakiki: Renungan Ulama di Usia 80 Tahun Indonesia (1)
مَا كَانَ لِبَشَرٍ أَنْ يُؤْتِيَهُ اللَّهُ الْكِتَابَ وَالْحُكْمَ وَالنُّبُوَّةَ ثُمَّ يَقُولَ لِلنَّاسِ كُونُوا عِبَادًا لِي مِنْ دُونِ اللَّهِ
“Tidaklah pantas bagi seorang manusia yang Allah beri kitab, hikmah, dan kenabian, lalu ia berkata kepada manusia: jadilah kamu hamba-hambaku selain kepada Allah.” (QS. Ali ‘Imran: 79).
Artinya, kemerdekaan sejati adalah bebas dari penghambaan kepada manusia atau kekuasaan duniawi, dan hanya tunduk kepada Allah.
Rasulullah pun menegaskan nilai kemerdekaan dan keberanian moral:
أفضل الجهاد كلمة حق عند سلطان جائر
“Jihad yang paling utama adalah berkata benar di hadapan penguasa zalim.” (HR. Abu Dawud).
Merdeka, dalam pandangan Islam, bukan sekadar lepas dari penjajah fisik.
Lebih dari itu, ia adalah kebebasan batin: hanya takut kepada Allah, bukan kepada penguasa zalim, harta, atau tekanan sosial.
Baca juga: Orangtua Berperan dalam Mengenalkan Momen Kemerdekaan
2. Imam Al-Ghazali: Merdeka dari Hawa Nafsu
Imam Al-Ghazali dalam Ihya’ Ulumuddin menekankan bahwa musuh terbesar manusia adalah hawa nafsu.
Banyak orang yang secara lahiriah merdeka, tapi jiwanya diperbudak nafsu, syahwat, ambisi, dan cinta dunia.
Menurut Al-Ghazali, hakikat merdeka adalah ketika manusia tidak lagi dikendalikan oleh keinginan rendah.
Orang yang serakah kepada harta, meski bergelimang kekayaan, sesungguhnya budak dari harta itu.
Orang yang mengejar popularitas sejatinya sedang diperbudak oleh pandangan manusia.
Merdeka sejati adalah ketika hati hanya tunduk kepada Allah, bukan kepada nafsu yang menyesatkan.
Refleksi ini begitu relevan: bangsa kita bisa saja merdeka secara politik, tapi jika rakyatnya terjajah oleh konsumtifisme, korupsi, dan hawa nafsu, maka sesungguhnya kita belum merdeka.[Sdz]
Sumber: Madrasatuna