MENGAPA kita masih hobi berghibah? Sesama Muslim dianjurkan untuk memperbanyak silaturahmi. Sayangnya tidak jarang ajang silaturahmi ini menjadi ajang gossip atau juga ghibah. Kalau sudah begini silaturahmi yang awalnya baik tidak lagi membawa keberkahan.
Baca Juga: Hal yang Harus Dilakukan jika Telanjur Ghibah
Mengapa Masih Hobi Berghibah?
Imam Nawawi berkata di dalam Al-Adzkar, ”Ketahuilah bahwasanya ghibah itu sebagaimana diharamkan bagi orang yang menggibahi, diharamkan juga bagi orang yang mendengarkannya dan menyetujuinya.
Maka wajib bagi siapa saja yang mendengar seseorang mulai menggibahi (saudaranya yang lain) untuk melarang orang itu, kalau dia tidak takut kepada mudharat yang jelas.
Dan jika dia takut kepada orang itu, maka wajib baginya untuk mengingkari dengan hatinya dan meninggalkan majelis tempat ghibah tersebut jika hal itu memungkinkan.
Jika kita mampu untuk mengingkari dengan lisan kita atau dengan mengalihkan pembicaraan ghibah tadi dengan pembicaraan lain yang lebih bermanfaat, maka wajib bagi kita untuk melakukannya.
Jika kita tidak melakukannya berarti kita telah ikutan bermaksiat. Jika dengan lisan kita berkata, ”Diamlah.” Namun di dalam hati ingin pembicaraan gibah tersebut dilanjutkan, maka hal itu adalah kemunafikan yang tidak bisa membebaskan kita dari dosa. Kita harus membenci gibah tersebut dengan hati. Agar bisa bebas dari dosa.
Jika kita terpaksa berada di majelis yang ada ghibahnya dan tidak mampu untuk mengingkari ghibah itu, atau telah berusaha mengingkari dan mengatakan tidak pada yang lain namun tidak diterima, serta tidak memungkinkan bagi kita untuk meninggalkan majelis tersebut.
Maka, haram bagi untuk istima’(mendengarkan) dan isgho’ (mendengarkan dengan seksama) pembicaraan ghibah itu.
Yang bisa kita lakukan adalah berdzikir kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan lisan dan hati, atau dengan hati saja.
Bisa juga dengan memikirkan perkara yang lain agar bisa melepaskan diri dari mendengarkan gibah itu. Setelah itu maka tidak dosa bagi kita mendengar ghibah (yaitu sekedar mendengar namun tidak memperhatikan dan tidak faham dengan apa yang didengar), tanpa mendengarkan dengan baik ghibah itu, jika memang keadaannya seperti ini (karena terpaksa tidak bisa meninggalkan majelis gibah itu).
Namun jika dalam beberapa waktu kemudian memungkinkan untuk meninggalkan majelis dan mereka masih terus melanjutkan ghibah, maka wajib baginya untuk meninggalkan majelis. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
“Dan apabila kalian melihat orang-orang yang mengejek ayat Kami, maka berpalinglah dari mereka hingga mereka mebicarakan pembicaraan yang lainnya. Dan apabila kalian dilupakan oleh Syaithon, maka janganlah kalian duduk bersama kaum yang dzolim setelah kalian ingat.” (QS. Al-An’am : 68)
Dan meninggalkan majelis ghibah merupakan sifat-sifat orang yang beriman, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,
“Dan apabila mereka mendengar lagwu (kata-kata yang tidak bermanfaat) mereka berpaling darinya.” (QS. Al-Qashash : 55)
Dan dalam ayat, Allah Subhanahu wa Ta’ala, “Dan orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tiada berguna.” (QS. Al-Mu’minun :3)
Bahkan ketika mendengar saudara kita menjadi bahan ghibah, kita dianjurkan untuk membela kehormatannya sebagaimana sabda Rosulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam,
“Dari Abu Darda’ Radhiyallahu ‘anhu, dia berkata: Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Siapa yang mempertahankan kehormatan saudaranya yang akan dicemarkan orang, maka Allah akan menolak api neraka dari mukanya pada hari kiamat.” (HR. At tirmidzi)
Demikian juga pengamalan para salaf ketika ada saudaranya yang dighibahi, mereka akan membelanya, sebagaimana dalam hadits-hadits berikut:
“Dari ‘Itban bin Malik Radhiyallahu ‘anhu, dia berkata: Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menegakkan sholat, lalu (setelah selesai sholat) beliau berkata: “Di manakah Malik bin Addukhsyum?” Lalu ada seorang laki-laki menjawab: ”Ia munafik, tidak cinta kepada Allah dan Rasul-Nya.”
Maka, Nabi berkata: “Janganlah engkau berkata demikian, tidakkah engkau lihat bahwa ia telah mengucapkan la ila ha illallah dengan ikhlash karena Allah?
Dan Allah telah mengharamkan api neraka atas orang yang mengucapkan la ilaha illallah dengan ikhlash karena Allah.” (HR. Bukhari dan Muslim)
“Dari Ka’ab bin Malik Radhiyallahu ‘anhu, dia berkata: Ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah sampai di Tabuk, dan sambil duduk beliau bertanya: “Apa yang dilakukan Ka’ab?” (Yakni mengapa dia tidak keluar berjihad ke Tabuk)
Maka, ada seorang laki-laki dari Bani Salamah menjawab: ”Wahai Rasulullah, ia telah tertahan oleh mantel dan selendangnya.”
Lalu Mu’adz bin Jabal t berkata: “Buruk sekali perkataanmu itu, demi Allah wahai Rasulullah, kami tidak mengetahui sesuatupun dari dia melainkan hanya kebaikan.” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun diam.” [Bukhori dan Muslim]
(Ustadz Ibnu Abidin As-Soronji, muslim.or.id/MAY/Cms]