WAKIL Ketua Dewan Pertimbangan MUI Pusat, Prof. Dr. K.H. Didin Hafidhuddin, M.Sc. menyampaikan khutbah Jumat tentang pengelolaan kekayaan dalam Islam. Hadirin sidang Jum’at rahimakumullah. Di dalam sebuah hadits riwayat Imam Abu Daud, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
Artinya: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Seseorang yang akan terlepas dari empat pertanyaan pada Hari Kiamat nanti: usia dipergunakan untuk apa, masa muda dihabiskan untuk apa, harta benda yang dimiliki bagaimana cara mendapatkannya dan bagaimana pula caa memanfaatkannya; serta ilmu pengetahuan bagaimana pengamalannya.” (HR. Abu Daud)
Baca Juga: Khutbah Jumat Tentang Menjadikan Setiap Amalan Bernilai Ibadah
Khutbah Jumat Kiai Didin Hafidhuddin Tentang Pengelolaan Kekayaan dalam Islam
Berdasarkan hadits tersebut di atas, bahwa umur, masa muda dan ilmu pengetahuan akan ditanyakan dan dipertanggungjawabkan dengan satu pertanyaan, “Dipergunakan untuk apa?”
Akan tetapi harta akan ditanyakan dua hal yaitu bagaimana mendapatkan dan mengusahannya dan cara memanfaatkan dan menggunakannya. Ketika kita membicarakan pengelolaan kaya dalam pandangan Islam, maka tekanannya pada dua hal, Cara Mendapatkan dan Cara Memanfaatkan.
Hadirin sidang Jum’ah rahimakumullah.
Sekaligus inilah salah satu ciri khas ekonomi Islam atau ekonomi syariah yaitu berorientasi pada proses disamping orientasi hasil. Berbeda dengan sistem ekonomi konvensional yang hanya berorientasi hasil dan mengabaikan proses. Ada satu kaidah dalam ekonomi konvensional: ”Dengan modal sekecil-kecilnya ingin mendapatkan hasil yang sebesar besarnya.”
Hadirin sidang Jum’ah rahimakumullah.
Pertama, dalam mengusahakan dan mendapatkan kekayaan Islam mengajarkan cara-cara yang bersih, halal, tidak merusak, dan memperhatikan kemaslahatan dan kepentingan bersama.
Dilarang mendapatkan harta melalui cara-cara yang bathil seperti korupsi, mencuri, menggasab, menipu dan perbuatan merugikan lainnya, termasuk menimbun mempermainkan takaran dan timbangan. Allah subhanahu wata’ala berfirman dalam QS. al-Baqarah [2] ayat 188, QS. anNisaa [4] ayat 29, dan QS. al-Muthaffin [83] ayat 1 – 4 :
وَلَا تَأْكُلُوْٓا اَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ وَتُدْلُوْا بِهَآ اِلَى الْحُكَّامِ لِتَأْكُلُوْا فَرِيْقًا مِّنْ اَمْوَالِ النَّاسِ بِالْاِثْمِ وَاَنْتُمْ تَعْلَمُوْنَ ࣖ ١٨٨
Artinya : “Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui” (QS. al-Baqarah [2]: 188).
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَا تَأْكُلُوْٓا اَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ اِلَّآ اَنْ تَكُوْنَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِّنْكُمْ ۗ وَلَا تَقْتُلُوْٓا اَنْفُسَكُمْ ۗ اِنَّ اللّٰهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيْمًا ٢٩
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu” (QS. an-Nisa’ [4]: 29).
وَيْلٌ لِّلْمُطَفِّفِيْنَۙ ١ الَّذِيْنَ اِذَا اكْتَالُوْا عَلَى النَّاسِ يَسْتَوْفُوْنَۖ ٢ وَاِذَا كَالُوْهُمْ اَوْ وَّزَنُوْهُمْ يُخْسِرُوْنَۗ ٣ اَلَا يَظُنُّ اُولٰۤىِٕكَ اَنَّهُمْ مَّبْعُوْثُوْنَۙ ٤
Artinya : “Celakalah orang-orang yang curang (dalam menakar dan menimbang)! (1) (yaitu) orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain, mereka minta dipenuhi; (2) (Sebaliknya,) apabila mereka menakar atau menimbang untuk orang lain, mereka kurangi; (3) Tidakkah mereka mengira (bahwa) sesungguhnya mereka akan dibangkitkan (4)” (QS. al-Mutaffifin [83]: 1 – 4).
Demikian pula larangan kegiatan meribakan uang yang sangat membahayakan sebagaimana firman-Nya dalam QS. Al-Baqarah [2] ayat 278-279 dan QS. An-Nisaa [4] ayat 29.
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا اتَّقُوا اللّٰهَ وَذَرُوْا مَا بَقِيَ مِنَ الرِّبٰوٓا اِنْ كُنْتُمْ مُّؤْمِنِيْنَ ٢٧٨ فَاِنْ لَّمْ تَفْعَلُوْا فَأْذَنُوْا بِحَرْبٍ مِّنَ اللّٰهِ وَرَسُوْلِهٖۚ وَاِنْ تُبْتُمْ فَلَكُمْ رُءُوْسُ اَمْوَالِكُمْۚ لَا تَظْلِمُوْنَ وَلَا تُظْلَمُوْنَ ٢٧٩
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman (278) Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya (279)” (QS. al-Baqarah [2]: 278 – 279).
Tujuan utama aturan tersebut agar harta betul-betul dimanfaatkan sebagai sarana ibadah kepada Allah subhanahu wata’ala dan sarana penguatan kemaslahatan hidup, agar terjadi kebaikan dan menipisnya kesenjangan antara satu kelompok dengan kelompok lainnya.
Hadirin sidang Jum’ah rahimakumullah.
Kedua, pendayagunaaan dan pemanfaatan harta, disamping untuk kepentingan pemenuhan kebutuhan hidup pribadi dan keluarga secara wajar dan tidak berlebih-lebihan, dikeluarkan juga zakat infak shadaqahnya dan juga wakafnya agar harta tersebut bertambah keberkahannnya dan berkembang penuh dengan kebaikan dunia dan akhirat. Firman-Nya dalam Al-Quran Surat al-Baqarah [2] ayat 277:
اِنَّ الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا وَعَمِلُوا الصّٰلِحٰتِ وَاَقَامُوا الصَّلٰوةَ وَاٰتَوُا الزَّكٰوةَ لَهُمْ اَجْرُهُمْ عِنْدَ رَبِّهِمْۚ وَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُوْنَ
Artinya: “Sesungguhnya orang-orang yang beriman, mengerjakan amal saleh, mendirikan sembahyang dan menunaikan zakat, mereka mendapat pahala di sisi Tuhannya. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati” (QS. al-Baqarah [2]: 277).
Mudah-mudahan kehidupan kita semakin berkah dan semakin dimudahkan urusannya oleh Allah subhanahu wata’ala. Amin ya Rabbal Alamin. [Cms]
Sumber: Istiqlal.or.id