KEBIJAKAN aneh tiga kota di Amerika Serikat. Tiga kota itu adalah San Fransisco, New York, dan Philadelphia. Apannya yang aneh?
Kalau disebut kota-kota di Amerika rawan kriminalitas, tentu itu bukan hal baru. Yang menarik adalah bagaimana kota-kota yang rawan kriminalitas itu menerapkan kebijakan publiknya.
Pengutil atau Shoplifting di San Fransisco
Mengutil atau mencuri barang-barang yang dipajang dalam supermarket tetap saja kriminal. Meski namanya pengutil, tetap saja sebagai pencuri.
Namun di San Fransisco, ada kebijakan aneh untuk pengutil. Undang-undang di kota itu tidak menyebut pengutil sebagai tindakan kriminal. Tapi hanya sebagai perilaku buruk.
Secara hukum, kriminalitas dan perilaku buruk berbeda. Kriminalitas terkena delik pidana, sementara perilaku buruk tidak. Persis seperti merokok di tempat publik atau menginjak rumput di taman.
Ada ketentuan menarik di hukum tentang pengutil ini. Selama nilai barang yang diambil pengutil masih sebesar 950 dolar ke bawah, maka hal itu bukan pencurian.
Akibatnya, para penjaga toko termasuk satpamnya tidak tertarik untuk menangkap mereka. Toh kalau ditangkap, mereka tidak akan dikenakan sanksi pidana. Hanya semacam hukuman untuk anak-anak muda yang kebut-kebutan motor. Mungkin hukumannya push up, atau sejenisnya.
Jadi, yang bisa dilakukan penjaga toko hanya merekam tindak pengutilan kemudian melaporkannya ke polisi. Jika polisi tidak merespon, ya sudah.
Kenapa ada aturan aneh itu? Hal ini terjadi setelah sejumlah kasus pengutilan yang akhirnya berujung ‘main hakim sendiri’ dari pihak penjaga toko. Selain itu, kasus-kasus tersebut ketika ditindak di dalam supermarket dikhawatirkan akan membahayakan pengunjung yang lain.
Nah, setelah kebijakan ini, para pengutil profesional di Amerika banyak yang nyaman tinggal di kota ini. Mereka mengutil tanpa ada hambatan. Setelah itu, barang-barang tersebut disetor ke bandar untuk kemudian dijual di pasar gelap.
Yang penting, tidak lebih dari 950 dolar Amerika. Karena kalau lebih, sudah masuk ke delik pencurian. Aneh kan?
Stop and Frisk di New York
Seperti kebalikan dari San Fransisco, undang-undang di New York membolehkan polisi untuk melakukan Stop and Frisk kepada siapa pun. Apa itu Stop and Frisk?
Kebijakan Stop and Frisk adalah kewenangan polisi untuk memberhentikan warga yang berjalan atau berkendara untuk diperiksa di tempat. Jadi, hanya cukup karena curiga, polisi boleh memberhentikan warga kemudian menggeladahnya di tempat.
Tujuannya supaya polisi bisa menangkap pelaku kriminal seperti pencuri, perampok, pengedar narkoba, tanpa perlu ada barang bukti. Yang penting sudah mencurigakan.
Menariknya, dari sekitar tiga juta penggeladahan warga yang lewat di jalan, hanya tiga persen saja yang terbukti membawa senjata api. Itu pun hanya membawa senjata api, bukan karena sebagai perampok atau penodong.
Usut punya usut, kebijakan ini disinyalir karena adanya kasus rasial kulit putih dan kulit hitam. Karena datanya, 90 persen warga yang diberhentikan dan digeladah adalah mereka yang berkulit hitam.
Padahal, di New York, warga kulit hitam berada di angka 54 persen yang menempati di wilayah itu. Sisanya warga kulit putih dan warga lainnya.
Jadi, kalau Anda bukan berkulit putih, hati-hati bertingkah di New York. Karena polisi akan secara mendadak menangkap dan menggeledah Anda. Bukan soal kasus hukumnya, tapi malunya. Karena itu sama saja mempermalukan seseorang yang tidak bersalah di tempat umum.
Kota Zombie di Philadelphia
Philadelphia di Amerika dikenal sebagai Kota Zombie. Bukan zombie dalam arti sebenarnya. Tapi karena ribuan warga di kota itu bertingkah seperti zombie: mulai dari berjalan seperti zombie, dan bertingkah aneh.
Hal ini karena ribuan warga Philadelphia itu menjadi korban perdagangan narkoba yang massif. Ada jenis-jenis narkoba yang bisa merusak otak dan perilaku penggunanya. Dan jadilah mereka seperti zombie.
Kenapa tidak diberantas? Di sinilah menariknya. Pernah ada kebijakan baru tentang ‘perang’ melawan narkoba, termasuk untuk para korban yang begitu banyak.
Para korban ini diberikan dua pilihan: mengikuti program rehabilitasi untuk jangka panjang atau masuk penjara.
Masalah berikutnya justru bukan pada para korban. Tapi berbalik kepada pemerintah. Hal ini karena korban narkoba yang direhabilitasi dan dipenjara begitu membludak. Dan itu bisa menghabiskan anggaran milyaran dolar hanya untuk mereka.
Karena anggaran pemerintah tidak lagi mampu menopang kebijakan itu, akhirnya polisi dan jaksa tidak lagi diarahkan untuk menangkap korban-korban narkoba ini.
Akibatnya, para korban narkoba ini ‘berserakan’ di jalan-jalan. Ada yang mati karena overdosis, ada juga yang ‘teler’ dan bertingkah seperti zombie.
Kalau melihat fenomena memprihatinkan di kota-kota Amerika ini, rasanya masih lebih baik di negeri kita sendiri. Hal itu karena sebagian besar masyarakat kita terdidik melalui nilai dan budaya Islam. [Mh]